Penerjemah: Keiyuki
Proofreader: Rusma


Menjelang akhir tahun, cuaca di Suzhou akhirnya mulai benar-benar dingin.

Malam sebelumnya, Shen Luo baru saja mengganti seprai dan selimut, lalu sepanjang malam di dalam tempat tidur baru, ia meniduri Xia Yiyang cukup lama.

Di hari kerja, mereka hampir tidak pernah melakukannya sampai akhir—bisa dibilang, Shen Luo cukup memahami bahwa Xia Yiyang harus bekerja mencari uang keesokan harinya. Tapi begitu hari Jumat tiba, Shen Luo tidak akan begitu mudah untuk melepaskannya. Perut kenyang belum terpenuhi, tapi hawa nafsu sudah mulai menguasai.

Seprai dan sarung bantal baru itu memang bagus, sesuai dengan estetika minimalis Shen Luo—indah dan hangat. Xia Yiyang bahkan merasa sayang untuk menggunakannya, tapi Shen Luo justru bersikeras membuatnya basah kuyup.

Keesokan paginya, dalam keadaan setengah sadar, Xia Yiyang mendengar suara jepretan kamera. Ia segera membenamkan wajah ke dalam selimut dan secara refleks mengangkat tangan untuk menutupi wajahnya.

“Bangunlah,” kata Shen Luo dari tepi tempat tidur.

Dalam cahaya pagi, Xia Yiyang membuka matanya. Demi pencahayaan yang lebih baik, Shen Luo hanya membiarkan tirai tipis terpasang, sementara tirai penghalang sinar matahari sudah ditarik ke atas.

Xia Yiyang menguap.

Shen Luo langsung mengabadikannya.

Xia Yiyang mengusap matanya.

Shen Luo tetap memotret.

Xia Yiyang duduk bersandar di tempat tidur sambil memeluk selimut, masih mengantuk, kepalanya terangguk-angguk menahan kantuk.

Shen Luo tertawa dari balik kamera.

Ia meletakkan kamera DSLR-nya, lalu mendekat dan mencium wajah Xia Yiyang berkali-kali.

Ciuman itu berakhir dengan mereka kembali bermain di tempat tidur hingga siang hari. Baru ketika perut benar-benar lapar, mereka akhirnya memesan makanan. Setelah makan, Shen Luo bilang ingin menonton film, lalu dengan semangat mengeluarkan home theater yang ia beli dengan pinjaman.

Xia Yiyang sudah lama penasaran berapa lama Shen Luo akan bertahan memainkan alat itu. Tapi setelah mengingat sifatnya, ia merasa tidak bisa terlalu yakin.

Mereka berdua berpelukan sambil menonton film lama. Di tengah film, ponsel Xia Yiyang berbunyi. Shen Luo melirik layarnya dan melihat bahwa panggilan itu dari ibunya.

Xia Yiyang tidak menghindar dan langsung mengangkat telepon di depan Shen Luo.

Dari suaranya, Nie Shuangshuang terdengar sedang dalam suasana hati yang baik. Ia bertanya apa yang sedang dilakukan Xia Yiyang.

Xia Yiyang tersenyum dan menjawab, “Aku sedang menonton film. Kalian sudah pulang dari liburan?”

Nie Shuangshuang dan Xia Cheng sudah hampir 40 tahun menjadi pasangan harmonis. Hubungan mereka masih penuh kemesraan—keluar rumah selalu bergandengan tangan, berfoto pun harus merangkul pinggang. Saat Xia Yiyang baru melewati usia 30, kedua orang tuanya sempat menyinggung soal kehidupan pribadinya. Tapi melihat Xia Yiyang selalu tampak tidak tertarik dan hanya fokus mengejar promosi serta uang, mereka pun paham dan tidak lagi mendesaknya.

Bagi Nie Shuangshuang, berbakti pada orang tua tidaklah harus dengan menikah. Xia Yiyang sudah menghasilkan banyak uang, jadi ia dan suaminya harus segera menghabiskannya selagi masih hidup.

“Aku membeli lilin lebah kali ini,” kata Nie Shuangshuang, yang baru saja pulang dari Rusia. Ia bahkan ikut tur paling mewah. Xia Yiyang merasa tidak perlu liburan sendiri, karena sudah ada yang menghabiskan dana liburannya.

Xia Yiyang menghela napas. “Berapa harganya?”

Dengan nada sangat santai, Nie Shuangshuang menjawab, “Tidak mahal, hanya sekitar sepuluh ribuan.”

“……” Xia Yiyang kehabisan kata-kata.

Nie Shuangshuang melanjutkan, “Besok akan ada kumpul keluarga dan teman untuk makan barsama. Kamu harus datang, oke.”

Xia Yiyang bingung. “Untuk apa aku datang?”

Dengan nada wajar, Nie Shuangshuang menjawab, “Tentu saja membayar tagihannya.”

Xia Yiyang benar-benar pasrah dan langsung menutup telepon. Shen Luo, yang mendengar seluruh percakapan, berkomentar, “Ibumu lucu juga.”

Xia Yiyang hanya bisa berkata, “Aku merasa seperti membesarkan anak perempuan tua.”

Shen Luo tersenyum sambil mencubit lehernya. Setelah beberapa saat, ia bertanya lagi, “Di antara kerabat dan teman-temanmu, apakah ada gadis cantik?”

“Apakah kamu cemburu?” Xia Yiyang menepis tangannya.

Shen Luo berkata santai, “Aku tidak bilang bahwa aku keberatan.”

Xia Yiyang tidak percaya. “Benarkah?”

Shen Luo kembali tersenyum. “Tentu saja. Acara makan-makan seperti ini memiliki makna kencan buta, apalagi kalau sampai mengundangmu. Aku mengerti.”

Melihat ekspresinya yang tulus, Xia Yiyang agak percaya. Ia ragu-ragu sebelum berkata, “Bagaimana jika aku memgatakan ke orang tuaku bahwa aku tidak perlu datang?”

“Sudah kubilang aku tidak keberatan.” Shen Luo menekan kepala Xia Yiyang, mendekat dan menciuminya sebentar. “Hanya makan malam, bukan? Apakah aku sebegitu pelitnya?”

Memang benar, Nie Shuangshuang jarang mengundang Xia Yiyang ke acara kumpul keluarga seperti ini, tapi jika sudah diundang, Xia Yiyang pasti akan datang.

Shen Luo mengantarnya ke restoran. Saat Xia Yiyang melepas sabuk pengaman, ia berkata, “Kamu pulang saja terlebih dulu, aku akan naik taksi nanti.”

Shen Luo mengangkat alis, tapi tetap menurut. “Oke.”

Xia Yiyang tidak tahan untuk menggodanya, “Apakah kamu benar-benar enggan meninggalkanku sekarang?”

“Kenapa kamu seperti seekor anjing.” Shen Luo menepuk pantatnya. “Simpan ekormu baik-baik.”

Xia Yiyang tertawa, lalu dengan cepat mengecup bibir Shen Luo karena sekeliling mereka sepi. Namun, sebelum sempat mundur, Shen Luo sudah menahannya dan mencium lebih dalam.

Setelah puas, Shen Luo melepasnya, merapikan kerah dan rambut Xia Yiyang, lalu berkata pelan, “Pergilah dan segera kembali.”

Setelah berpikir sejenak, ia menambahkan, “Aku menunggumu.”

Saat Xia Yiyang tiba di ruang VIP restoran, acara sudah mulai. Benar saja, Nie Shuangshuang mengundang semua sahabatnya.

Sekarang, para wanita tua begitu berkuasa, bahkan lomba senam di alun-alun pun dibuat serius. Acara makan malam ini lebih mirip rapat motivasi, dengan tiga meja besar penuh seperti pesta pernikahan.

Nie Shuangshuang menarik Xia Yiyang ke sampingnya. Baru saat itu Xia Yiyang sadar, jumlah anak muda di sini hampir sebanyak para lansia.

“Wah, Ibu Nie, anakmu terlihat masih begitu muda.” Seorang ibu menatapnya tajam seperti menyorot laser. “Apakah dia sudah berusia 30 tahun?”

Nie Shuangshuang tanpa basa-basi tertawa. “30? Apakah kamu bercanda. Dia sudah hampir 40!”

“……” Meski umur bukan masalah bagi pria, Xia Yiyang tetap hanya bisa tersenyum kaku.

Begitu mendengar umurnya hampir 40, beberapa wajah langsung menunjukkan ekspresi kecewa.

Nie Shuangshuang melanjutkan dengan pernyataan mengejutkan, “Gadis-gadis, jangan berharap terlalu banyak. Bibi tidak akan membuang-buang waktu kalian.”

Xia Yiyang: “……”

Saat makan sudah setengah jalan, Nie Shuangshuang yang sudah minum mulai berbicara pelan pada putranya.

“Apakah menurutmu aku mamintamu datang ke sini untuk kencan buta?” tanya Nie Shuangshuang.

Xia Yiyang hanya bisa pasrah. “Ibu, jangan terlalu banyak minum.”

Nie Shuangshuang tertawa puas. “Sudah kukatakan, kamu kupanggil ke sini untuk membayar, jadi bayar saja tagihannya! Aku bahkan sudah memesan abalon dan lobster Australia, mahal sekali!”

Xia Yiyang: “……”

Nie Shuangshuang melirik para pemuda tampan dan gadis cantik di meja lain, lalu dengan penuh semangat berkata, “Jika kalian memyukainya, bilang saja ke bibi! Makan malam kali ini ditraktir oleh paman Xia!”

Xia Yiyang dalam hati mengutuk, Sial, umurku belum terlalu tua sampai harus dipanggil paman oleh anak-anak dua puluhan ini, ‘kan?!

Ketika makan malam hampir selesai, Xia Yiyang akhirnya punya kesempatan mengirim pesan ke Shen Luo, yang kemudian dijawab dengan cepat, [Sudah selesai makan?]

Xia Yiyang, [Sebentar lagi. Apa yang sedang kamu lakukan?]

Shen Luo, [Menunggumu.]

Xia Yiyang tertawa kecil. [Aku tahu kamu sedang menungguku, maksudku, apa yang kamu lakukan di rumah?]

Shen Luo tetap menjawab hal yang sama, [Hanya menunggumu.]

Setelah beberapa saat, Shen Luo bertanya lagi, [Apakah ada gadis cantik.]

Xia Yiyang pasrah. [Ada pun itu bukan milikku. Aku sudah resmi jadi paman Xia, ke sini hanya untuk membayar makan.]

Shen Luo, [Mana ada paman semuda dan setampan dirimu? Mereka pasti buta.]

Meskipun sudah berumur, Xia Yiyang tetap saja tersipu setiap kali Shen Luo memujinya. Rasanya hatinya seperti dipenuhi permen buah yang manis.

Keduanya mengobrol sebentar, sampai akhirnya Nie Shuangshuang memanggil Xia Yiyang ke kasir untuk membayar tagihan.

[Aku pergi membayar terlebih dulu], tulis Xia Yiyang dalam pesan.

Setelah menggesek kartu dan merasakan rasa sakit di dompetnya, ia menunduk melihat layar ponselnya dan membaca balasan Shen Luo, [Cepatlah pulang, oke.]

Xia Yiyang tersenyum sambil mengetik, [Siapa tadi yang mengatakan tidak keberatan? Sekarang malah seperti debt collector yang bertanya terus memerus.]

Shen Luo tidak membalas pesan, jadi Xia Yiyang menyimpan ponselnya dan membantu ibunya keluar dari restoran.

Sambil berjalan, Nie Shuangshuang berkata, “Nanti aku akan pulang sendiri. Kamu harus menjaga kesehatan. Sekalipun kerja lembur, jangan sampai terlalu lelah, mengerti.”

Xia Yiyang patuh mengangguk. “Iya, aku tahu.”

Nie Shuangshuang bertanya lagi, “Apakah kamu membawa mobil? Bagaimana kamu akan pulang?”

Xia Yiyang baru saja ingin mengatakan bahwa dia akan naik taksi, tapi saat ia mengangkat kepala, kata-katanya tertahan di tenggorokan.

Nie Shuangshuang menyadari perubahan ekspresinya dan mengikuti arah pandang putranya.

Sepanjang jalan, lampu-lampu jalan telah menyala, dan bayangan cahaya neon dari gedung-gedung tinggi terpantul di aspal.

Di bawah sinar lampu yang berpendar, Shen Luo bersandar di mobil, menatap Xia Yiyang dari kejauhan.

Di tengah cahaya yang berkilauan itu, ia tersenyum.


KONTRIBUTOR

Rusma

Meowzai

Keiyuki17

tunamayoo

Leave a Reply