Penerjemah: Keiyuki
Proofreader: Rusma


Shen Luo baru kembali ke Suzhou sekitar jam 1 pagi. Di jalan, ia terburu-buru, tapi saat hampir sampai rumah, langkahnya justru melambat. Bahkan saat mengambil kunci dan membuka pintu, ia bergerak pelan agar tidak membangunkan orang yang berada di dalam.

Cuaca di Suzhou menjelang akhir tahun biasanya semakin dingin setelah hujan musim gugur. Saat masuk ke rumah, tubuhnya terasa kedinginan, tapi ruang tamu terasa hangat.

Awalnya, ia mengira Xia Yiyang tidur di kamar, tapi begitu lampu ruang tamu dinyalakan, orang yang berbaring di sofa malah berguling.

Shen Luo buru-buru mematikan lampu lagi.

Ia menunggu sebentar sebelum perlahan mendekati sofa dan berjongkok di sampingnya.

Xia Yiyang memang selalu tidur pulas jika benar-benar kelelahan. Bahkan saat bercinta, di bagian akhir ia bisa tertidur karena kehabisan tenaga, hal yang sering membuat Shen Luo iri.

Xia Yiyang ternyata masih tidur, tapi tampak gelisah. Tangannya meraba-raba dadanya, dan saat Shen Luo menyelimuti tubuhnya, ia baru menyadari bahwa Xia Yiyang menggenggam sesuatu di tangannya.

Shen Luo memperhatikannya dengan seksama dan alisnya perlahan mengernyit.

Tatapannya jatuh pada mata Xia Yiyang yang bengkak karena menangis. Ia tidak tahu apakah harus merasa sedih atau justru lega. Akhirnya, ia hanya mengulurkan tangan dan menyentuh wajah Xia Yiyang dengan lembut. Melihat Xia Yiyang masih tertidur, ia menatapnya sebentar lagi sebelum mengambil ponselnya dan pergi ke balkon.

Zhang Ning tidak menyangka akan menerima telepon dari putranya di tengah malam. Karena tidurnya ringan, ia tidak masalah menerima panggilan larut malam seperti ini. Suaranya terdengar cemas sekaligus penuh perhatian.

“Apakah kamu sudah pulang?” tanya Zhang Ning.

“Mm,” sahut Shen Luo, sedikit ragu, “Aku terburu-buru sampai lupa sudah larut malam.”

Zhang Ning segera menjawab, “Tidak apa-apa.”

Shen Luo terdiam sejenak sebelum langsung ke inti pembicaraan, “Kamu datang ke rumahku hari ini?”

“Aku hanya mengantar sesuatu,” kata Zhang Ning. Ia ragu sejenak, lalu perlahan melanjutkan, “Liontin Buddha emas itu… Ibu selalu merasa benda itu pernah menyelamatkanmu, jadi kupikir lebih baik kuberikan padamu untuk menjaga keselamatanmu.”

Shen Luo tidak menjawab. Sebenarnya, menurutnya semua ini terasa sangat ironis. Saat itu, ia menelan liontin Buddha itu sebagai upaya bertahan hidup sekaligus tindakan nekat. Orang-orang tua yang penuh takhayul dan keras kepala itu masih saja memegang kepercayaan lama. Meskipun kini terlihat lebih menerima, di dalam hati mereka tetap saja buta mengikuti kepercayaan tanpa berpikir.

“Anak itu…” Zhang Ning berusaha mencari kata-kata, “Dia baik… Kalian… jalani hidup dengan baik, oke.”

Shen Luo tersenyum tipis. “Aku tahu.”

Zhang Ning lalu berkata, “Saat Tahun Baru nanti, ajak dia pulang untuk makan bersama.”

Shen Luo berpikir sejenak sebelum menjawab, “Kita lihat nanti.”

Zhang Ning terdengar kecewa dan hanya menjawab pelan, “Oh.”

Shen Luo melirik ke arah ruang tamu. Ia melihat Xia Yiyang kembali membalikkan badan, dan selimut yang tadi ia rapikan kini terjatuh setengahnya.

“Aku tutup teleponnya,” kata Shen Luo dengan tenang. Setelah jeda sesaat, ia menambahkan pelan, “Terima kasih, Bu.”

Gerakan Xia Yiyang kali ini cukup besar hingga ia terbangun dalam keadaan setengah sadar. Ia duduk sambil memeluk selimut, matanya bengkak sampai hampir tertutup.

Shen Luo menutup pintu balkon dan memanggilnya, “Yiyang.”

Xia Yiyang memicingkan mata, masih linglung, “Kamu sudah pulang?”

“Kalau aku tidak pulang, kemana lagi aku harus pergi?” Shen Luo tersenyum dan duduk di sampingnya. Ia menunduk dan melihat Xia Yiyang masih menggenggam erat liontin Buddha emas itu.

Xia Yiyang yang kini mulai sadar sepenuhnya, buru-buru mencoba menyembunyikan liontin itu, tapi tangannya ditahan oleh Shen Luo.

“Jangan disembunyikan lagi,” katanya lembut. “Tidak apa-apa.”

Xia Yiyang mengangguk dengan ragu.

Shen Luo menatap matanya dan menghela napas. “Berapa lama kamu menangis? Kelopak bunga kecilnya sampai layu.”

Di masa kuliah dulu, karena wajahnya yang tampan, Xia Yiyang punya julukan terkenal di asrama sebagai “bunga sosial”. Tapi tidak pernah ada yang benar-benar memanggilnya begitu di depan wajahnya.

Dengan santai, Shen Luo mengucapkan julukan itu, membuat wajah murung Xia Yiyang tampak seolah-olah lebih segar dan polos.

Xia Yiyang langsung memerah karena malu.

Shen Luo lalu membuka jemari Xia Yiyang, mengambil liontin Buddha emas itu, dan memberi isyarat agar Xia Yiyang menundukkan kepalanya. Ia merentangkan tangannya, memeluk Xia Yiyang, dan menggantungkan liontin itu di lehernya.

“Terlihat cantik,” ujar Shen Luo sambil mengamati. Ia masih memeluk Xia Yiyang dan mendekatkan wajahnya untuk mengecup kelopak matanya.

“Apakah kamu sudah membeli kondom?” tanya Shen Luo tiba-tiba.

“Su-sudah,” jawab Xia Yiyang gugup.

Shen Luo tersenyum. “Tidurlah terlebih dulu, oke.”

“…” Xia Yiyang sempat terdiam, sebelum akhirnya setuju. Ekspresinya tampak sedikit kecewa.

“Aku takut kamu ketiduran di tengah jalan nantinya,” goda Shen Luo sambil mencubit lembut leher Xia Yiyang.

Xia Yiyang makin merah padam, tapi tetap bersikeras membalas, “Tidak akan!”

Sofa di ruang tamu cukup besar. Shen Luo langsung melepas kemeja dan celananya, lalu memeluk Xia Yiyang dan berbaring. Ia menarik selimut hingga menutupi bahu Xia Yiyang.

“Jangan usil,” ujar Shen Luo dengan mata terpejam sambil menahan kaki Xia Yiyang yang bergerak-gerak tidak tenang.

Xia Yiyang akhirnya diam dan menempel erat padanya.

Namun, Shen Luo tetap tidak bisa menahan diri, tangannya mencubit pantat Xia Yiyang. “Besok pagi aku akan menidurimu. Sekarang tidurlah terlebih dulu.”

Xia Yiyang: “…”

Mereka tidur sampai hampir tengah hari. Saat Xia Yiyang terbangun, ia merasa matanya akhirnya tidak lagi bengkak, bahkan lipatan kelopak matanya sudah kembali normal.

Shen Luo sedang berbaring di sampingnya, menopang kepala dengan satu tangan sambil menatapnya. “Sudah bangun?”

Xia Yiyang mengusap matanya. “Apakah masih bengkak?”

“Hanya sedikit,” jawab Shen Luo.

Xia Yiyang menghela napas lega dan bergumam, “Untunglah.”

Shen Luo tersenyum, lalu menundukkan kepala dan menggesekkan hidungnya ke pipi Xia Yiyang. Saat bergesekan, perlahan mereka berciuman.

Sambil berciuman, Xia Yiyang sibuk mengingat di mana ia menaruh kondom dan pelumas, tapi Shen Luo sudah lebih dulu membuka bajunya dan menarik tubuh Xia Yiyang ke atasnya.

Karena Shen Luo hampir setengah telanjang sebelum tidur, penisnya sudah keras dan menekan Xia Yiyang sejak awal.

Ketika Xia Yiyang duduk di pinggang Shen Luo, sebelum dia bisa bereaksi, dia mendengarnya berkata kepadanya dengan nada membujuk: “Apakah kamu ingin berada di atas?”

Xia Yiyang: “……?”

Shen Luo memegang pinggangnya dan mengoleskan pelumas pada bagian belakangnya, sementara tangannya yang lain mengusap penisnya dari depan. Baru pada saat itulah Xia Yiyang mengerti apa yang dimaksud Shen Luo dengan “di atas”.

Perasaan diserang benda asing awalnya tidak begitu menyenangkan, tapi Shen Luo sangat lembut. Dia melihat ekspresi Xia Yiyang saat melakukannya, dan ketika dia melihat pihak lain mengerutkan kening, dia cemberut dan berkata, “Kemarilah, cium.”

Xia Yiyang tersenyum dan menundukkan kepalanya untuk menciumnya.

Liontin Buddha emas itu melilit leher Xia Yiyang, memberikan kesan erotis di kulitnya yang hangat. Shen Luo memandanginya sebentar lalu mengalihkan pandangannya ke wajah Xia Yiyang.

Pipi Xia Yiyang memerah dan matanya memelas seperti anak anjing yang meminta permen. Bagian depan dan belakangnya sudah basah, dan dia ingin duduk sambil mengenggam penis Shen Luo.

“Pelan-pelan saja.” Shen Luo menepuk pantatnya, “Suamimu hanya punya satu penis.”

Xia Yiyang benar-benar malu dengan omong kosong yang tak tahu malu dari mulut pihak lain, untungnya Shen Luo tidak mempermalukannya lebih jauh.

Tidak mudah untuk menembusnya dalam posisi seperti ini. Shen Luo akan masuk sedikit, keluar sedikit, dan kemudian masuk sedikit lagi setiap kali. Dia melakukan ini bolak-balik selama lebih dari selusin kali sebelum akhirnya dia bisa menembusnya sepenuhnya. Xia Yiyang biasanya mengabaikan pemanasannya, jadi pinggangnya terasa sedikit tegang setelah melakukan serangkaian gerakan ini. Dia hanya bisa bertahan dengan bantuan kekuatan Shen Luo.

Shen Luo mendorong sebentar, lalu memeluk pihak lain dan membiarkannya berbaring di atasnya.

Xia Yiyang takut dirinya terlalu berat, jadi Shen Luo menggigit bibirnya dan berkata samar, “Tidak apa-apa, aku ingin memelukmu.”

Dengan wajah mereka yang begitu dekat, bibir mereka secara alami tidak dapat dipisahkan. Shen Luo tampaknya tidak terburu-buru untuk mengakhiri percintaan ini. Cara dia berciuman seperti memakan sesuatu yang lezat, sedikit demi sedikit, saling mengisap dan lengket.

Penis Xia Yiyang mengusap perut bagian bawah pihak lain. Dia sudah pernah ejakulasi sebelumnya, dan didorong dari belakang dengan tidak terlalu ringan atau terlalu kuat, tapi tidak pernah bisa mencapai titik itu.

Dia tidak dapat menahan diri untuk tidak mengencangkan pantatnya, menyebabkan Shen Luo tertawa lagi.

“Ayo kita mengambil gambar?” Shen Luo menggigit cuping telinganya dan membujuknya, “Gunakan ponselmu untuk memotretnya, kalau kamu tidak menyukainya, hapus saja.”

Xia Yiyang benar-benar tidak menyangka Shen Luo bisa begitu gigih. Dia tersipu dan berkata, “Kenapa kamu begitu mesum?”

Shen Luo mendorongnya dengan keras dari bawah beberapa kali, dan berkata dengan cara yang agak tidak tahu malu, “Hanya satu.”

Xia Yiyang ragu-ragu sejenak, dan akhirnya mengeluarkan ponsel dari bawah meja kopi. Dia berpikir bahwa dia tidak boleh menyerahkan tanah dan membayar ganti rugi lagi lain kali, dan dia tidak boleh bersikap lunak dan membiarkan pihak lain memanfaatkannya.

Entah bagaimana Shen Luo mengambil foto itu, tapi Xia Yiyang terlalu malu untuk menunjukkan wajahnya, jadi dia membenamkan kepalanya di bahu pihak lain. Shen Luo menunjukkan foto itu kepadanya setelah dia selesai mengambilnya.

“Aku tidak ingin melihatnya.” Kata Xia Yiyang dengan marah.

Shen Luo tidak memaksanya, tapi terus menidurinya perlahan hingga ia mencapai orgasme sendiri, dan akhirnya ia ejakulasi.

Shen Luo tampaknya lebih menyukai saat-saat intim setelah mereka bercinta. Mungkin melampiaskan hasrat lebih penting saat ia masih muda, tapi ia tidak begitu tidak sabaran saat ia bertambah tua.

Demi kesehatan Xia Yiyang, Shen Luo bersikeras memakai kondom. Setelah membuang kondom, dia menarik selimut untuk menutupi mereka berdua dan mengusap pinggang pihak lain dengan satu tangan.

Xia Yiyang menoleh dan melihat Shen Luo masih memegang ponselnya, melihat foto yang baru saja diambil.

“Kamu benar-benar tidak ingin melihatnya?” tanya Shen Luo.

Xia Yiyang cemberut, berpikir bahwa meskipun sekarang ia tidak melihatnya, nanti dia bisa diam-diam melihatnya di Instagram.

Shen Luo akhirnya tidak tahan dan mengirimkan foto itu ke ponselnya sendiri.

“Kamu tadi mengatakan bahwa jika aku tidak menyukainya, aku bisa menghapusnya,” keluh Xia Yiyang pelan.

Shen Luo mengangkat alis, senyumnya jelas tidak tulus. “Kamu pasti menyukainya, karena aku yang memotretnya.”

Xia Yiyang bergumam pelan, “Mesum.”

Mereka berdua berbaring sambil mengobrol, dan Shen Luo mulai bertanya soal apartemen di Dongshan.

Xia Yiyang mengambil denah lantai dan menunjukkan padanya. “Unit lantainya besar, kita bisa membeli yang di dekat danau. Ketinggian langit-langitnya hampir lima meter.”

“Tinggi juga,” komentar Shen Luo. Dia melihat denah itu sejenak lalu berkata, “Kamar mandinya juga sangat besar.”

Apartemen di Yuyuan memang punya tata letak bagus, tapi kamar mandi dan dapurnya relatif kecil. Terutama kamar mandi yang hanya muat untuk shower.

Xia Yiyang baru sadar. “Coba aku lihat.”

Shen Luo menunjuk bagian denah itu. “Lihatlah, besar bukan? Kita bisa memasang bak mandi.”

Xia Yiyang sudah mendengar ucapan ini lebih dari sekali. Saat mereka baru pindah ke Yu Yuan, Shen Luo sering mengeluh tentang kamar mandi yang tidak bisa menampung bak mandi. Sekarang pun, saat melihat rumah baru, hal pertama yang dia periksa adalah apakah kamar mandinya cukup besar untuk bak mandi.

“Kenapa kamu begitu terobsesi dengan bak mandi?” Xia Yiyang tertawa. “Apakah kamu seekor ikan?”

Shen Luo menjawab dengan santai, “Aku ingin mandi bersamamu. Lagian bak mandi itu akan bagus untuk berfoto. Nanti aku akan membuatkanmu busa mandi, kamu akan terlihat cantik berbaring di dalamnya. Aku bisa mengambil beberapa foto untuk sebuah album.”

Xia Yiyang: “……”

Shen Luo menambahkan, “Kenapa kamu malu? Aku sudah mengatakannya agar kamu cepat terbiasa.”

Xia Yiyang memerah karena malu. “Bagaimana aku bisa terbiasa dengan hal semacam itu?!”

Setelah berbaring lagi selama setengah jam, mereka berdua akhirnya bangun karena lapar. Karena malas memasak, mereka memesan makanan dari luar. Setelah makan, Xia Yiyang turun membuang sampah sambil menyeret sandal. Saat kembali, dia melihat Shen Luo sedang memasang foto baru di dinding.

“Jangan menggantung foto telanjang, oke.” Xia Yiyang akhirnya mengajukan protes.

Shen Luo menoleh dan melihatnya. Dia tidak bilang setuju atau menolak, tapi wajahnya terlihat sedikit enggan.

Xia Yiyang menatapnya tajam sampai Shen Luo akhirnya menyerah dan pelan-pelan menyingkirkan foto telanjang itu.

Saat Shen Luo sedang serius menggantung foto, Xia Yiyang diam-diam membawa ponselnya ke kamar mandi. Ia melepas celananya dan beberapa kali mengintip keluar, memastikan Shen Luo tidak memperhatikannya, sebelum dengan hati-hati membuka Instagram.

Begitu beranda Shen Luo terbuka, foto pertama yang muncul langsung membuatnya tertegun — itu adalah foto punggung telanjangnya sendiri. Entah kapan Shen Luo mengambil foto itu, tapi dalam gambar tersebut, liontin Buddha emas yang awalnya tergantung di lehernya telah tersingkap ke belakang.

Dari ujung kepala hingga pinggang, rantai berbentuk huruf V membingkai garis bahunya dengan jelas. Liontin Buddha emas itu terletak dengan tenang di antara tulang belikatnya yang menonjol seperti sayap kupu-kupu.

Meski wajahnya tidak terlihat, Xia Yiyang merasa aneh melihat dirinya sendiri di media sosial dengan pose yang begitu terbuka. Perasaan campur aduk memenuhi dirinya — malu, terkejut, namun juga sedikit bangga. Ia menutup mulutnya, menahan reaksi, dan menatap foto itu cukup lama sebelum perlahan menggulir layar ke bawah.

Untuk pertama kalinya, Shen Luo menuliskan keterangan di bawah fotonya.

Dia menulis:

Bimbing aku dari lautan penderitaan dan bawakanlah aku kesempurnaan.


KONTRIBUTOR

Rusma

Meowzai

Keiyuki17

tunamayoo

Leave a Reply