Penerjemah: Keiyuki
Proofreader: Rusma


Menjelang akhir tahun, karena terlalu sibuk, Xia Yiyang sampai lupa janjinya kepada Nie Shuangshuang untuk pulang makan bersama. Baru saat ibunya menelepon, ia teringat kembali.

“Sibuk sekali kamu.” Nie Shuangshuang mengeluh, “Jam berapa kamu akan pulang sekarang?”

Xia Yiyang tersenyum pahit, “Kalau bisa pulang sebelum jam delapan malam, itu sudah bagus.”

“Bukannya belum masuk masa opening bonus1Bonus pembukaan rekening bank adalah insentif atau hadiah yang diberikan bank kepada nasabah baru yang memenuhi syarat promosi. Bonus ini bisa berupa tunai atau promosi suku bunga. ?” Nie Shuangshuang bertanya lagi.

Setelah putranya bekerja di bank untuk waktu yang lama, Nie Shuangshuang menjadi cukup paham beberapa istilah perbankan dan terkadang memamerkan pengetahuannya.

Tapi Xia Yiyang tidak memberinya muka, “Kalau sudah memasuki masa opening bonus, aku harus tidur di bank.”

Nie Shuangshuang mendengus tidak terima tapi dengan gaya kekinian, “Cih!”

Baru setelah Xia Yiyang berjanji berulang kali bahwa ia akan pulang akhir pekan ini untuk makan bersama, Nie Shuangshuang akhirnya puas dan menutup telepon.

Di seberangnya, Shen Luo yang sedang tenggelam di tumpukan dokumen mengangkat kepala dan bertanya, “Apakah kamu lapar?”

Xia Yiyang menghela napas, “Aku benar-benar ingin makan oden.”

Shen Luo tertawa, “Makanan macam apa itu.”

Meski berkata begitu, Shen Luo tetap memesan makanan lewat layanan pesan antar.

Saat kurir mengantarkan pesanan, Cai Cai bahkan tidak perlu berkedip untuk tahu bahwa pesanan itu pasti dari Shen Luo.

Dia sudah menerima nasibnya, sepertinya selama 30 tahun ke depan dia tak akan bisa lepas dari Direktur Shen dari Komisi Regulasi Perbankan ini. Meski setiap kali inspeksi tahunan rasanya seperti dikuliti, tapi setidaknya ada makan malam bersama setiap malam sebagai kompensasi.

Ketika Cai Cai mengantarkan dokumen pinjaman, dia sambil bercanda dengan Xia Yiyang, “Bos, lain kali kalau kamu mau makan, pilihlah yang lebih mahal. Bukankah Direktur Shen mentraktirmu, bagaimana bisa kamu memilih yang murah?”

Xia Yiyang sedang menggigit sepotong rebung, berkedip tanpa berkata apa-apa.

Shen Luo menjawab untuknya, “Direktur Xia ini pasti merasa tidak enak.”

Cai Cai masih penasaran dan bertanya lagi pada Xia Yiyang, “Kenapa merasa tidak enak?”

Shen Luo tersenyum, “Dia merasa kasihan padaku.”

Cai Cai: “…”

Setelah lembur seminggu penuh, Shen Luo hampir setiap hari menemani Xia Yiyang. Mereka pulang bersama, mandi, lalu tidur.

Suatu malam, Xia Yiyang terbangun dari mimpi dan memandangi wajah tidur Shen Luo dalam gelap. Semuanya terasa tidak nyata. Shen Luo yang tidurnya ringan langsung terbangun saat Xia Yiyang bergerak.

“Kenapa bangun?” tanya Shen Luo setengah sadar sambil meraba wajah Xia Yiyang.

“Tidak ada apa-apa, kembalilah tidur,” jawab Xia Yiyang sambil menggenggam tangan Shen Luo.

Shen Luo menggumam pelan, lalu mendekat dan mengecup bibir Xia Yiyang.

Mereka terdiam beberapa saat sebelum Shen Luo tiba-tiba berkata, “Beberapa hari lalu aku menonton sebuah video.”

Xia Yiyang bertanya, “Video apa?”

Shen Luo menutup mata dan berkata pelan, “Sebuah video tentang Bumi kita, tata surya, lalu galaksi Bima Sakti yang memiliki ratusan miliar bintang.”

Xia Yiyang mendengarkan dengan tenang.

Shen Luo melanjutkan, “Matahari kita membutuhkan 200 juta tahun untuk mengelilingi galaksi Bima Sakti, dan beberapa ratus juta tahun lagi, galaksi Andromeda akan bertabrakan dengan Bima Sakti.”

Xia Yiyang terdiam: “…”

Shen Luo berkata lagi, “Di kolom komentar ada yang mengatakan, dibandingkan dengan alam semesta, manusia itu kecil seperti debu, dan pikiran kita bahkan lebih tidak berarti, tidak ada maknanya.”

Xia Yiyang tertawa pelan dan balik bertanya, “Apakah kamu juga berpikir begitu?”

“Mungkin,” Shen Luo ikut tersenyum. Setelah beberapa saat hening, ia berkata perlahan, “Tapi aku masih merasa, dalam pikiranku yang tidak berarti ini, ada sesuatu yang sangat bermakna.”

Dia menambahkan, “Karena perasaanku padamu, bagiku itu adalah Bumi, tata surya, galaksi Bima Sakti, dan alam semesta, bahkan semua alam semesta di luar sana.”

“Dan semua itu,” Shen Luo menatap Xia Yiyang sambil berkata lembut, “tidak ada yang lebih bermakna dibandingkan dengan perasaanku padamu.”

Pada hari Sabtu pagi, Xia Yiyang harus pulang ke rumah. Setelah Shen Luo mengantarnya, Xia Yiyang kali ini memastikan untuk melihat mobil Shen Luo benar-benar pergi sebelum naik ke apartemen.

Dia membawa beberapa barang untuk Tahun Baru, dan ayahnya, Xia Cheng, membukakan pintu.

“Di mana ibu?” tanya Xia Yiyang sambil melepas sepatu.

Xia Cheng yang sedang bermain dengan burung di balkon, masih memegang sendok kayu kecil bertangkai panjang, buru-buru kembali ke balkon. “Dia pergi ke gym untuk olahraga. Siang ini hanya ada kita berdua saja, jadi kita akan makan seadanya.”

Xia Yiyang menghela napas. “Lalu kenapa aku harus pulang pagi-pagi sekali?”

Xia Cheng sambil mengelus burung jalaknya berkata, “Untuk menemani ayahmu ini.”

Xia Yiyang berjalan ke balkon dan bersandar di pintu sambil melihat ayahnya bermain dengan burung.

“Naik apa kamu ke sini?” tanya Xia Cheng.

“Temanku yang mengatar,” jawab Xia Yiyang.

“Temanmu dari Komisi Regulasi Perbankan yang waktu itu memgantar ibumu pulang?” tanya Xia Cheng lagi.

Xia Yiyang sedikit terkejut. “Apakah ibu cerita ke Ayah?”

Xia Cheng mengangguk. Dia kembali mengenakan kacamata bacanya dan mengambil sedikit pakan burung lalu memberikannya ke dalam sangkar.

“Ayah pikir dia akan datang bersamamu.”

Xia Yiyang tertegun sejenak. Xia Cheng meliriknya dari balik kacamatanya, lalu menunjuk bangku di dekatnya. “Duduklah. Kita ngobrol sebentar.”

Xia Yiyang ragu sejenak, tapi akhirnya duduk dengan patuh.

Xia Cheng terus bermain dengan burungnya, lalu setelah beberapa saat, ia bertanya dengan santai, “Sudah berapa lama kamu bersamanya?”

Xia Yiyang langsung terkejut, “?!”

Sinar matahari pagi yang hangat dan cerah memenuhi balkon, bahkan debu-debu kecil pun terlihat jelas di udara.

Setelah mengajukan pertanyaan itu, Xia Cheng tetap bersikap santai, seolah-olah tidak ada yang aneh, sambil terus memberi makan burung dengan sendok kayu kecilnya.

Xia Yiyang terbatuk pelan, lalu bertanya dengan canggung, “Ayah… kapan ayah tahu?”

“Ayah dan ibumu bukan orang bodoh,” jawab Xia Cheng sambil melepas kacamata bacanya dengan nada tenang. “Kamu sudah berusia 30 tahun tapi tidak tertarik dengan wanita, wajahmu juga seperti orang yang sedang jatuh cinta. Sekarang internet sudah canggih, dan ayah juga bisa mengetik dengan lima jari cukup cepat.”

“…” Xia Yiyang bingung, tidak mengerti apa hubungannya mengetik cepat dengan hal ini.

Xia Cheng melanjutkan, “Ibumu kembali dua minggu yang lalu dan mengatakan bahwa ada seseorang yang dekat denganmu. Apakah itu Shen Luo?”

Xia Yiyang langsung berkeringat dingin, tidak bisa membantah.

Xia Cheng duduk di kursi di sebelahnya. “Katanya kalian sudah mengenal sejak kuliah?”

Xia Yiyang mengangguk, “Iya.”

Xia Cheng bertanya, “Sudah berapa lama?”

Xia Yiyang menjawab, “Hampir setengah tahun.”

Xia Cheng hanya mengangguk pelan, “Oh.”

Keduanya kembali terdiam. Xia Yiyang tidak bisa menahan diri untuk melirik ayahnya.

Xia Cheng yang sudah hampir 70 tahun, saat duduk punggungnya agak bungkuk. Meski rambutnya yang memutih belum terlalu banyak, kerutan di sudut matanya tampak jelas. Semakin Xia Yiyang memandangnya, matanya mulai memanas tanpa sadar.

Xia Cheng kemudian menoleh padanya. Setelah ragu sejenak, ia bertanya dengan suara parau, “Apakah tidak mungkin bagiku untuk menjadi seorang kakek dalam kehidupan ini?”

Tenggorokan Xia Yiyang terasa tercekat. Ia ingin menghindari tatapan ayahnya, tapi akhirnya menahan diri.

Dengan suara pelan, ia berkata, “Maaf, Ayah.”

Xia Cheng menghela napas panjang.

“Kalau kamu bahagia, itu sudah cukup,” kata Xia Cheng setelah hening cukup lama. “Kamu yang akan menjalani hidup ini. Siapapun pasanganmu, yang kami harapkan hanya satu—semoga kalian bisa bersama selamanya dan saling mendukung sampai akhir.”

Xia Yiyang tidak berkata apa-apa.

Xia Cheng menatapnya sambil tersenyum. Mereka berdua memang tidak terlalu mirip, kecuali di bagian mata. Saat tersenyum, bahkan kerutan di ujung mata mereka membentuk pola yang sama, menyerupai ekor ikan kecil.

“Tidak masalah jika kamu sendirian,” kata Xia Cheng sambil tersenyum, seolah bercanda. “Uang Ayah dan Ibu cukup untuk menghidupimu seumur hidup.”

Saat Nie Shuangshuang pulang, dia sama sekali tidak menanyakan apa yang Xia Cheng dan Xia Yiyang bicarakan. Seperti biasa, dia tampak energik dan penuh semangat, benar-benar wanita tua yang masih “berapi-api”.

Dia menatap Xia Yiyang dari ujung kepala sampai kaki lalu mencibir, “Kamu bertambah gemuk ya?”

Xia Yiyang memutar bola matanya, “Gemuk dari mana?”

Nie Shuangshuang berkata dengan ketus, “Jangan terlalu sering meminta Xiao Shen membelikanmu camilan tengah malam.”

Xia Yiyang membalas, “Dia juga memakannya.”

Nie Shuangshuang bertanya lagi, “Kenapa dia tidak ikut hari ini?”

Xia Yiyang menjawab, “Ibu ‘kan tidak mengundangnya.”

Nie Shuangshuang langsung memelototinya, “Kenapa harus aku yang mengundangnya? Bukankah seharusnya dia berinisiatif untuk datang sendiri.”

Xia Yiyang terdiam, tidak tahu harus membalas apa.

Akhirnya, dia disuruh masuk ke kamarnya untuk menelepon Shen Luo. Saat membawa ponsel ke kamar, dia hampir ingin tertawa sekaligus mengeluh. Ia menggenggam ponselnya erat-erat, sementara liontin Buddha emas yang tergantung di lehernya keluar dari balik kerah dan buru-buru ia selipkan kembali.

Xia Yiyang duduk di ranjang, berusaha mengatur napas sebelum menelepon. Namun saat akhirnya menekan nomor Shen Luo, ujung jarinya masih sedikit bergetar.

Shen Luo mengangkat telepon dengan cepat, “Ada apa?”

Mendengar suaranya, Xia Yiyang justru merasa tenang. Ia tersenyum dan bertanya, “Apa yang sedang kamu lakukan?”

Shen Luo juga tertawa, “Aku sedang menunggumu.”

Xia Yiyang curiga, “Kamu di rumah, ‘kan?”

Shen Luo tertawa makin keras, “Kali ini aku benar-benar berada di rumah.”

Xia Yiyang masih belum yakin. Ia berjalan ke dekat jendela dan mengintip ke bawah, memastikan tidak ada mobil Shen Luo yang parkir. Setelah yakin, barulah ia merasa lega.

Shen Luo di ujung telepon masih tertawa.

Xia Yiyang menghela napas, “Kamu memiliki catatan buruk, jadi aku tidak tenang.”

Shen Luo tertawa lagi untuk beberapa saat, lalu tiba-tiba berkata pelan, “Hei, aku sangat merindukanmu.”

Xia Yiyang tersenyum dan menimpali, “Kalau begitu, datanglah ke sini.”

Shen Luo bingung, “?”

Xia Yiyang menggenggam ponselnya, berusaha terdengar santai, “Ibu mengajakmu makan malam di rumah.”

Shen Luo terdiam.

Xia Yiyang melanjutkan, “Ayah dan ibuku sudah tahu semuanya. Mereka setuju kita bersama dan mereka ingin kamu datang makan malam di sini.”

Shen Luo masih diam.

Xia Yiyang mulai ragu karena Shen Luo tidak memberikan jawaban. Ia memanggil pelan, “Shen Luo?”

Di seberang masih sunyi.

Xia Yiyang menunggu beberapa saat lagi, lalu tiba-tiba tersenyum. Matanya sedikit memanas, suaranya melembut, “Kenapa kamu menangis? Ini kabar baik.”

— Setelah melewati tahun-tahun panjang yang penuh kesepian, akhirnya ada hal baik yang datang, seperti bunga yang mekar.

Bunga itu mekar dengan indah dan harum, mekar dengan lembut dan abadi.

Dan bunga itu terus mekar, di sepanjang perjalanan hidup ini.


KONTRIBUTOR

Rusma

Meowzai

Keiyuki17

tunamayoo

Leave a Reply