Penerjemah: Keiyuki
Proofreader: Rusma
Li Baozhuang mengundang Xia Yiyang makan lagi setelah masa open door red (periode target penjualan tinggi) berakhir.
Selama periode itu, bank mereka sempat bersaing ketat dengan Bank SZ untuk memperebutkan nasabah di kompleks perumahan baru. Secara pribadi, Li Baozhuang sering menelepon Xia Yiyang untuk mengeluh.
“Kami adalah salah satu dari lima bank terbesar, bagaimana bisa dibandingkan dengan bank kecil seperti itu?” kata Li Baozhuang sambil memesan makanan di restoran Xiangxuehai. Xia Yiyang sangat suka menu terong teppanyaki di sana, jadi Li Baozhuang memesankannya khusus. “Kebijakan kalah, diskon juga kalah, tapi kantor pusat tetap saja masih memberi target tinggi. Hidupku berat sekali.”
Xia Yiyang hanya bisa menghiburnya, “Hidupku juga tidak semudah itu. Lagi pula, tingkat kepemilikan kartu bank kecil tidak tinggi.”
Li Baozhuang menghela napas panjang dan menambah beberapa pesanan lagi.
Xia Yiyang merasa heran, “Kenapa memesan sebanyak ini?”
Li Baozhuang menjawab, “Nanti akan ada teman yang datang, wakil kepala cabang DW di area taman industri. Beberapa tahun lalu dipindahkan langsung dari Beijing.”
Xia Yiyang tertawa, “Jadi aku disini hanya numpang?”
Li Baozhuang membantah dengan serius, “Tentu saja tidak! Aku sedang membatumu mencari prospek. Di taman industri itu ada kawasan komersial yang tanahnya sudah laku. Pengembangnya juga begitu kuat, dan untuk pinjaman komersialnya, Bank DW yang akan memegang kendali. Apakah kamu tidak ingin mendapat bagian?”
Xia Yiyang langsung tertarik. “Bagaimana kamu bisa mengenalnya?”
“Sebelumnya, ada lelang tanah perumahan di taman industri. Aku kebetulan ke sana dan bertukar kontak dengannya,” jelas Li Baozhuang sambil menghela napas. “Dia masih begitu muda, umurnya belum mencapai 30 tahun, dan sangat tampan. Saat kamu bertemu dengannya nanti, kamu akan mengerti apa maksudku.”
Meskipun Xia Yiyang merasa peluang untuk ikut serta dalam proyek pinjaman komersial itu kecil, tapi menambah kenalan di dunia perbankan jelas bukan ide buruk. Apalagi jika Li Baozhuang sudah bersusah payah menjalin hubungan, tentu saja dia tidak akan menolak.
Tak lama kemudian, Li Baozhuang setengah berdiri dan melambai ke arah pintu, “Kemarilah, kemarilah!”
Xia Yiyang menoleh ke belakang dan melihat seorang pria berjalan mendekat melawan cahaya.
Meskipun sudah lewat bulan Maret, cuaca di Suzhou masih belum menghangat. Musim semi palsu ini malah membawa angin dingin yang menusuk tulang.
Xie Meng mengenakan mantel hitam panjang yang membuat tubuhnya terlihat tinggi dan ramping. Sambil berjalan, dia melepas syal dari lehernya. Rambutnya hitam pekat seperti burung gagak dan matanya tajam seperti tinta hitam yang menetes.
Saat dia tiba di depan Xia Yiyang, barulah Xia Yiyang tersadar dan buru-buru berdiri untuk berjabat tangan.
“Kita semua bekerja di bidang yang sama, jadi tidak perlu bersikap sopan.” kata Li Baozhuang sambil tertawa, lalu menarik Xie Meng dan Xia Yiyang untuk duduk.
Di antara pria dewasa, kadang butuh waktu lama untuk akrab, tapi ada kalanya cukup dengan satu kesempatan tepat, semuanya menjadi cair begitu saja.
“Apakah Komisi Regulasi Perbankan baru-baru ini memeriksa tempatmu?” tanya Li Baozhuang dengan suara cukup keras, sampai beberapa meja di sekitar melirik penasaran. Dia langsung mengecilkan suaranya dan bertanya pelan, “Sudah berapa hari?”
Xie Meng menjawab, “Sekitar seminggu.”
Xia Yiyang berpikir sejenak, lalu teringat bahwa beberapa waktu lalu Shen Luo memang sempat menyebutkan tentang hal ini.
Li Baozhuang kembali bertanya, “Siapa yang memimpin tim kali ini?”
Xie Meng menyesap tehnya dan menjawab santai, “Dipimpin oleh Direktur Shen dari departemen pengawasan. Kenapa?”
“Wow!” Li Baozhuang mengeluh, “Dia sangat menakutkan, sangat kuat, benar-benar seperti ‘tuan besar’.”
Xia Yiyang hampir tertawa karena julukan “Tuan Besar Shen”. Tapi saat baru setengah tertawa, tatapan Xie Meng langsung beralih padanya.
Situasinya menjadi serba salah—tertawa pun salah, tidak tertawa juga salah. Xia Yiyang akhirnya hanya bisa mengedipkan mata sambil mempertahankan senyum canggung tapi sopan.
Namun, Xie Meng tampak santai saja dan bertanya dengan tenang, “Apakah Tuan Xia mengenal Direktur Shen?”
Xia Yiyang menggaruk wajahnya, “Bisa dibilang… ada sedikit hubungan, mungkin.”
Begitu mendengar kata “hubungan”, mata Li Baozhuang langsung berbinar, “Tuan Xia! Sebulan lagi Tuan Besar Shen akan datang ke bank kami! Kamu mengerti maksudku, ‘kan?”
Xia Yiyang tertawa pahit, “Kalau dia ingin mengurangi poin, aku bisa apa? Di tempatku juga sama, kalau dia ingin mengurangi poin silakan tinggal kurangi saja.”
Li Baozhuang mengeluh sambil memasang wajah sedih, “Mendengarkan nada bicaramu, kalian ini pasti saudara, ya?”
“…” Xia Yiyang tidak ingin berbohong, tapi jika mengungkapkan kebenaran rasanya terlalu gila. Jadi dia hanya mengalihkan topik, “Kenapa kamu jadi seperti tidak punya harga diri? Lihatlah Tuan Xie, dia tetap tenang.”
“Jangan libatkan aku,” Xie Meng tertawa kecil.
Xia Yiyang justru terpaku sesaat melihat senyumnya.
Seperti yang dikatakan Li Baozhuang, Xie Meng memang sangat tampan. Wajahnya tenang, jarang berekspresi, tampak seperti lukisan tinta hitam putih yang sunyi. Tapi saat dia tersenyum, lukisan hitam putih itu seakan hidup—awan dan angin mulai bergerak, membuat seluruh pemandangan tampak lebih cerah.
Xie Meng masih tersenyum sambil melirik Xia Yiyang, bercanda, “Kalau begitu, Aku juga ingin memanfaatkan Tuan Xia dan memintanya untuk mengucapkan beberapa patah kata yang baik untukku.”
Memikirkan dunia perbankan memang cukup lucu. Biasanya di proyek perumahan atau perusahaan, bank-bank ini saling bersaing habis-habisan, seolah ingin saling menjatuhkan. Tapi begitu ada perubahan kebijakan dari bank sentral atau inspeksi dari Komisi Regulasi Perbankan, yang tadinya bermusuhan langsung menjadi akrab, saling mendukung seperti teman dekat.
Xia Yiyang tidak pernah menyangka bahwa suatu hari dirinya bisa minum bersama rekan-rekan seprofesi hingga larut malam, semua berkat hubungan baiknya dengan Shen Luo. Bahkan karena terlalu larut, Shen Luo sendiri sampai mengirim pesan untuk menanyakannya.
[Apakah kamu belum selesai makan?] tanya Shen Luo. [Kamu minum alkohol?]
Xia Yiyang menyipitkan mata saat membalas pesan, [Minum… apakah kamu mau menjemputku?]
Shen Luo langsung membalas tanpa basa-basi, [Kirim lokasimu.]
Setelah mengirimkan lokasinya, Xia Yiyang malah menuang segelas bir lagi untuk dirinya. Li Baozhuang sampai tak tahan untuk mengingatkan, “Jangan terlalu banyak minum, kamu bisa hangover!”
Xie Meng ikut bertanya, “Tuan Xia, apakah kamu tidak kuat minum?”
Li Baozhuang langsung menyahut, “Dia itu tidak kuat minum tapi suka minum. Hanya setengah botol dan sudah tumbang.”
Xie Meng agak terkejut. Jarang-jarang dia melihat seorang manajer senior bank yang punya toleransi alkohol rendah. Dia melirik ke wajah Xia Yiyang, yang kini sudah memerah, matanya berbinar, bahkan kelopak matanya tampak kemerahan.
Usianya hampir 40 tahun, tapi saat ini Xia Yiyang terlihat jauh lebih muda dari usianya. Andai saja tidak ada kerutan halus di sudut matanya saat tersenyum, orang mungkin akan mengira dia baru berusia di bawah 30.
Xie Meng bukannya belum pernah melihat pria tampan—bahkan setiap hari dia tidur di samping seseorang yang luar biasa rupawan. Tapi Xia Yiyang berbeda, ketampanannya tidak mencolok, tapi halus dan lembut, memberi kesan hangat yang jarang ditemui.
Xia Yiyang sepertinya sadar bahwa dirinya sudah minum terlalu banyak. Ia mengusap wajahnya dan berkata dengan sedikit malu, “Ini benar-benar gelas terakhir, aku tidak akan minum lagi.”
Li Baozhuang mengeluh, “Kita ‘kan makan bersama, tidak ada yang memaksamu minum.”
Xie Meng mengambil gelas Xia Yiyang yang masih berisi setengah, lalu menggantinya dengan teh. “Apakah kamu nanti akan memesan sopir?” tanyanya dengan perhatian.
Xia Yiyang menggeleng, “Tidak perlu, temanku akan menjemputku.”
Li Baozhuang mendesah iri, “Enak sekali, aku harus memesan sopir sendiri.” Ia lalu menoleh ke Xie Meng, “Bagaimana denganmu, apakah butuh sopir juga? Akan aku pesankan.”
Xie Meng tersenyum menolak, “Tidak perlu, akan ada yang menjemputku.”
Li Baozhuang mengangguk dan membuka aplikasi untuk memesan sopir pengganti. Tapi setelah memesan, ia baru menyadari sesuatu yang membuatnya kesal. Tunggu… kenapa rasanya ada yang aneh? Setelah sekian lama, dia baru sadar jika dia tadi tanpa sengaja “menelan sepasang makanan anjing” alias menjadi orang ketiga di antara dua pasangan bahagia.
“Eh!” serunya tak tahan lagi. “Jadi kalian berdua sudah memiliki pasangan? Kenapa tidak memberitahuku?!”
Xia Yiyang dan Xie Meng saling melirik dengan ekspresi canggung.
Li Baozhuang menyilangkan tangan di dada, memasang wajah serius. “Lihatlah wajah kalian, pasangan kalian pasti sangat cantik!”
“…”
Setelah pukul 10 malam, jalanan di pusat kota Suzhou hampir kosong tanpa kendaraan. Justru di waktu seperti ini, Shen Luo merasa paling senang karena akhirnya bisa mengeluarkan mobil pikap Jepang-nya yang hampir berdebu untuk dipakai jalan-jalan.
Lagi pula, seiring bertambahnya usia, Shen Luo sudah kehilangan ketertarikan terhadap mobil-mobil unik seperti saat muda dulu. Ia pun sudah tidak punya kebiasaan untuk balapan tengah malam lagi, lebih memilih pulang lebih awal, lalu memeluk Xia Yiyang dan menghabiskan malam dengan penuh gairah.
Restoran Xiangxuehai kini sudah memiliki area parkir resmi. Malam itu pun cukup sepi, jadi Shen Luo memarkir mobilnya dengan mudah sebelum berjalan ke pintu depan restoran untuk menjemput Xia Yiyang.
Namun, sebelum sampai, ia melihat sebuah Ford F150 Raptor diparkir secara miring di depan pintu masuk restoran.
Di Suzhou, mobil pikap Jepang seperti milik Shen Luo saja sudah jarang terlihat, apalagi Ford Raptor, salah satu pikap Amerika terbaik di kelasnya.
Shen Luo bersiul pelan, merasa seolah bertemu teman sehobi. Ia berjalan mengelilingi mobil itu dan melihat pintu mobil setengah terbuka. Di dalam, seorang pria bersandar santai di kursi pengemudi dengan kaki panjangnya bertumpu di setir. Topi menutupi wajahnya saat ia setengah tertidur.
Sepertinya pria itu mendengar suara Shen Luo, lalu mendorong topi dengan malas, memperlihatkan rambut pirang keperakan yang mencolok.
Shen Luo terpaku beberapa detik, lalu bertanya ragu, “Tuan Ji?”
Ji Qinyang mengangkat alisnya. Selama hampir tiga tahun kembali ke Suzhou, ia yakin tidak banyak mengenal orang selain teman-teman SMA-nya. Meski dalam setahun terakhir musiknya berkembang pesat dan ia mengumpulkan cukup banyak penggemar di Weibo, rasanya belum sampai ke titik di mana bisa bertemu penggemar secara kebetulan di kota yang sama.
Shen Luo pun sadar kalau dirinya agak lancang, jadi ia segera memperkenalkan diri, “Aku Shen Luo dari Instagram. Studio-mu pernah menghubungiku untuk pemotretan.”
Tak heran Shen Luo mengingat Ji Qinyang dengan jelas. Meskipun ia sudah cukup terkenal di Instagram berkat karya-karya fotografinya selama bertahun-tahun, tawaran pemotretan komersial yang datang padanya sangat jarang. Jadi, ketika beberapa bulan lalu Ji Qinyang menghubunginya untuk memotret lanskap komersial, Shen Luo sempat mengira itu penipuan.
Untuk mempermudah komunikasi, Shen Luo bahkan membuat akun Weibo dan mengikuti akun Ji Qinyang. Ia melihat akun Ji Qinyang terverifikasi sebagai produser musik. Malam itu juga Shen Luo menghabiskan waktu mendengarkan semua demo buatan Ji Qinyang di Weibo dan akhirnya menyadari bahwa Ji Qinyang benar-benar tipe orang yang “padahal bisa mengandalkan wajah tampan tapi malah memilih hidup dari bakatnya.”
Di zaman sekarang ini, beberapa swafoto yang diunggah Ji Qinyang di Weibo benar-benar langka—tanpa editan, tanpa filter kecantikan, bahkan tanpa tambahan filter apapun, langsung diunggah begitu saja.
Sudut pengambilan fotonya pun beragam dan menantang, menampilkan wajahnya dari 360° tanpa cela.
Hasilnya justru membuktikan bahwa wajah Ji Qinyang memang pantas untuk sesekali narsis dan penuh percaya diri.
Sebelum mendengarkan musik karya Ji Qinyang, Shen Luo sempat berpikir jika Ji Qinyang tidak memanfaatkan ketampanannya untuk mencari penghasilan, itu benar-benar pemborosan—benar-benar terlalu percaya diri.
Ji Qinyang sendiri tampaknya juga tidak menyangka akan bertemu Shen Luo dalam situasi seperti ini. Setelah berjabat tangan dengan sopan, keduanya malah bingung, harus memulai pembicaraan tentang musik terlebih dulu atau soal pemotretan.
Akhirnya, Ji Qinyang yang lebih dulu bertanya, “Tuan Shen, apakah kamu ke sini untuk makan?”
Shen Luo tersenyum sambil menggeleng, “Aku ke sini untuk menjemput seseorang.”
Ji Qinyang tampak sedikit terkejut tapi segera ikut tersenyum, “Kebetulan sekali, aku juga ke sini untuk menjemput seseorang.”
Keduanya sudah saling mengikuti di Weibo dan Instagram. Di profil Weibo Shen Luo tertulis jelas orientasinya sebagai penyuka sesama jenis, sementara Ji Qinyang juga terang-terangan memamerkan foto-foto penuh sensor setiap hari. Tanpa harus dijelaskan, mereka sama-sama tahu bahwa orang yang mereka jemput adalah pasangan masing-masing.
Dan soal siapa pasangan itu…
Baik Xie Meng maupun Xia Yiyang adalah tipe pria yang suka memberi kabar saat keluar makan atau minum, bahkan tidak lupa memotret suasana sebagai bukti.
Ji Qinyang memainkan ponselnya, melihat layar percakapan WeChat. Di sana ada foto tiga orang yang dikirim Xie Meng dua jam lalu. Dalam foto itu, kepala besar Li Baozhuang berada tepat di tengah, sangat mencolok dan menarik perhatian.
Shen Luo bersandar di sisi lain pintu mobil, sambil menggulir percakapan ke bagian paling atas. Di sana ada foto yang dikirim Xia Yiyang sebelumnya, memperlihatkan Li Baozhuang hampir menempelkan wajahnya ke wajah Xia Yiyang.
Saat itu juga, Li Baozhuang yang sedang bersiap membayar dengan kartu, tiba-tiba bersin dua kali di depan Xia Yiyang dan Xie Meng.
Saat Xia Yiyang dan Xie Meng keluar dari restoran, Li Baozhuang memang sengaja berdiri di tengah, masih penasaran dengan “kekasih cantik” kedua pria ini. Namun ketika melihat “tuan besar” Shen Luo, dagunya hampir jatuh ke lantai karena terkejut.
Ji Qinyang memandangi wajah Xia Yiyang, sementara Shen Luo melirik ekspresi Xie Meng.
Keduanya saling memahami situasinya, merasakan semacam kepuasan karena berhasil saling memegang rahasia kecil satu sama lain.
Yang paling menarik, Xie Meng dan Xia Yiyang—yang sama sekali tidak tahu kenyataan sebenarnya—masih dengan serius saling memperkenalkan diri dengan penuh sopan.
“Xie Meng, Manajer Xie, kalian pasti sudah cukup mengenal beberapa hari terkahir ini, bukan?” Xia Yiyang yang mulai mabuk menjadi lebih banyak bicara, “Direktur Shen dari Komisi Regulasi Perbankan, dia adalah teman seangkatanku ketika kuliah. Hubungan kami hanya sebatas teman, aku mabuk, jadi dia yang menjemputku.”
Shen Luo meliriknya sejenak tanpa berkata apa-apa, lalu tiba-tiba mengulurkan tangan dan mencubit tengkuk Xia Yiyang.
Xie Meng tidak menyadari gerakan kecil di antara mereka dan masih tetap memperkenalkan Ji Qinyang, “Dia teman SMA-ku, seorang produser musik.”
“Wah,” Li Baozhuang berseru kagum, “profesi ini kedengarannya keren, apakah dia seoarang seniman?”
Ji Qinyang sudah memakai kembali topinya, menutupi warna rambutnya yang terlalu mencolok. Wajahnya tampan memukau, senyumnya samar tapi tetap terlihat mencolok di bawah cahaya malam. “Aku tidak cocok berada di depan kamera, jadi hanya bekerja di balik layar.”
Li Baozhuang menatap wajah Ji Qinyang dengan frustrasi, merasa dunia ini tidak adil… orang setampan ini malah bilang tidak cocok di depan kamera.
Setelah sesi perkenalan selesai, Ji Qinyang dan Shen Luo jelas saling memahami situasinya, sementara Xie Meng dan Xia Yiyang masih polos dan belum curiga. Keduanya berusaha keras menyembunyikan hubungan masing-masing. Xia Yiyang khawatir soal karier Shen Luo, karena pengawas bank termasuk jabatan setara pegawai negeri, dan gosip soal hubungan pribadi bisa berdampak buruk. Di sisi lain, Xie Meng juga melindungi Ji Qinyang, yang meskipun bukan artis depan layar, tetap seorang figur publik di dunia musik.
Dalam hubungan mereka, “tuan” yang bicara, sementara “nyonya” memilih diam. Apalagi, penghasilan kedua “nyonya” ini lebih rendah dari “tuan” mereka…
Ji Qinyang akhirnya pura-pura batuk ringan lalu tersenyum kepada Xie Meng, “Sudah malam, ayo kita pulang?”
Xie Meng mengangguk setuju. Sebelum masuk mobil, dia kembali berjabat tangan dengan Xia Yiyang dan berkata tulus, “Lain kali, mari kita makan bersama lagi, oke?”
Xia Yiyang tampak senang bukan main, “Tentu saja, tentu saja!”
Shen Luo masih diam. Dia baru melepaskan tangannya dari tengkuk Xia Yiyang setelah mobil Ji Qinyang melaju pergi.
“Kamu minum berapa banyak tadi?” Shen Luo menunduk, mendekat ke telinga Xia Yiyang dan mengendus ringan, “Anggur merah atau bir?”
Xia Yiyang terkekeh, “Bir.”
Shen Luo mengusap kepala Xia Yiyang pelan, “Apa saja yang kalian bicarakan?”
Xia Yiyang menjawab, “Manajer Xie mengatakan bahwa kamu sudah berada di sana selama seminggu untuk inspeksi.”
Shen Luo membuka pintu mobil, “Ini akan selesai sekitar sebulan lagi.”
Xia Yiyang bertanya, “Apakah banyak yang terkena penalti?”
Shen Luo menjawab santai, “Cabang DW Park biasanya selalu ketat tentang hal-hal seperti itu.”
Xia Yiyang mengangguk, lalu memasang sabuk pengaman. Setelah mobil mulai berjalan, dia bergumam, “Manajer Xie begitu tampan dan masih muda.”
Shen Luo meliriknya sebentar sambil mengangkat alis, lalu kembali fokus menyetir tanpa berkata apa-apa.
Xia Yiyang masih terus mengoceh, “Dia juga kuat minum, suaranya enak didengar, tangannya juga cantik sekali. Kamu pasti tidak tahu, dia terlihat berbeda jika tersenyum.”
Shen Luo tidak bisa menahan tawa. Dia menahan senyum lalu tiba-tiba berkata, “Aku sama sekali tidak tahu, selama inspeksi kami juga hampir tidak pernah bertemu.”
“…” Xia Yiyang awalnya tidak paham, tapi setelah sadar maksudnya, dia menjadi canggung dan buru-buru melambaikan tangan, “Bukan begitu maksudku.”
Shen Luo menatapnya, “Lalu apa maksudmu? Apakah kamu menyukai orang sepertinya?”
Xia Yiyang kaget, “Omong kosong apa ini! Mana mungkin.”
“Lalu, kenapa kamu terus membicarakannya?” Shen Luo tertawa kecil, meski setahun lagi usianya 40, tawa kepolosannya masih terasa kekanak-kanakan. Dia menatap Xia Yiyang sambil tersenyum, “Kalau kamu tidak cemburu, apakah berarti aku yang harus semburu?”
Begitu sampai di rumah, mereka berdua tidak terburu-buru melakukan hal lain. Xia Yiyang menggosok giginya dengan sikat gigi elektrik di satu tangan sambil membaca koran dengan mata setengah terpejam. Setelah beberapa saat, seolah teringat sesuatu, ia masuk ke kamar untuk mengambil ponselnya.
Shen Luo meliriknya dari ruang kerja, tapi tidak terlalu memperhatikan. Tidak lama kemudian, Xia Yiyang tiba-tiba berlari masuk dengan sikat gigi masih di mulut.
“Mm mm mm!” Xia Yiyang menarik sikat giginya, kepala sikat masih bergetar, dan busa pasta gigi muncrat ke mana-mana. “Itu, si Ji… Ji siapa? Dia ternyata adalah orang yang terkenal!”
Shen Luo mengangkat alis, menunjuk sikat gigi di tangan Xia Yiyang. “Matikan dulu itu.”
Xia Yiyang buru-buru mematikan sikatnya lalu menunjukkan ponselnya ke Shen Luo. “Lihatlah, ada fotonya di Weibo.”
Setelah kembali ke Suzhou, Ji Qinyang memang menjadi lebih terbuka dibanding saat di Beijing. Ia memanfaatkan beberapa koneksi untuk mempromosikan dirinya. Bahkan salah satu stasiun radio musik terkenal di Suzhou sempat membuat program khusus membahas musiknya. Xia Yiyang pernah mendengarnya secara tidak sengaja dan langsung tertarik. Ia bahkan membayar untuk mengunduh lagunya.
“Apakah kamu suka lagu-lagunya?” Fokus Shen Luo tertuju pada hal lain.
Xia Yiyang berkata, “Kedengarannya bagus. Apakah kamu ingin aku memainkannya untukmu?”
Shen Luo tersenyum tipis, “Dengarkan saja sendiri.”
Xia Yiyang tertawa, “Apakah kamu cemburu?”
Shen Luo mendengus pelan. Ia mengulurkan tangan, menyeka busa pasta gigi di sudut mulut Xia Yiyang, lalu mendorongnya ke kamar mandi untuk mandi.
Saat sedang melepas pakaiannya, Xia Yiyang masih saja mengeluh, “Ah, aku lupa meminta tanda tangannya!”
Shen Luo meliriknya, lalu mengambil shower dan mulai membasahi rambut Xia Yiyang. Xia Yiyang duduk di lantai kamar mandi, mendongak dan bertanya, “Bukankah kamu harus pergi ke tempat Tuan Xie untuk pemeriksaan besok? Apakah kamu bisa memintakan tanda tangannya untukku?”
Shen Luo mulai mengoleskan sampo ke rambutnya, jari-jarinya menyisir dari ujung ke kulit kepala, membentuk busa tebal yang membuat kepala Xia Yiyang seperti tertutup awan.
Shen Luo membungkuk dan mencium keningnya. Xia Yiyang langsung menarik leher Shen Luo dan mencium bibirnya.
“Tolong, mintakan tanda tangannya untukku,” kata Xia Yiyang serius sambil kepalanya masih penuh busa. “Jangan sampai lupa!”
Shen Luo hanya terdiam.
Keesokan harinya, Tuan Shen yang kini mendapat tugas mulia meminta tanda tangan, pergi bekerja dengan perasaan setengah hati. Sayangnya, kontrol risiko di cabang DW Park terlalu ketat, hingga seharian ia tidak menemukan satu pun kesalahan.
Saat makan siang, Xie Meng turun untuk menemuinya dan mengajaknya makan bersama. Mereka makan dengan sopan dan formal. Menjelang akhir makan, akhirnya Shen Luo bertanya, “Apakah teman produser musikmu itu mempunyai album yang sudah ditandatangani?”
Xie Meng sempat bingung kenapa tiba-tiba pembicaraan mengarah ke Ji Qinyang. Setelah beberapa saat, ia baru menjawab, “Dia belum pernah merilis album resmi…”
Shen Luo mengangguk, “Oh, kalau begitu tidak masalah. Bisa aku meminta tanda tangannya saja?”
Xie Meng tertawa, “Kenapa Tuan Shen tiba-tiba menginginkan tanda tangannya?”
Shen Luo menghela napas, “Bukan aku yang mau, tapi Xia… Tuan Xia yang meminta. Dia mendengar lagu temanmu dan begitu menyukainya.”
Xie Meng mengangguk paham, “Oke, nanti aku bantu memintakannya untukmu.”
Tugas selesai, Tuan Shen senang tapi tetap memasang wajah datar. Saat istirahat makan siang, ia langsung mengirim pesan ke Xia Yiyang: [Sudah aku mintakan.]
Xia Yiyang membalas dalam hitungan detik dengan stiker “cium” yang menggemaskan.
Hati Tuan Shen langsung meleleh seperti lautan gula, dan ia pun membalas dengan beberapa stiker “cium” lagi. Baru saja akan mengetik beberapa kata manis tambahan, tiba-tiba muncul notifikasi permintaan teman baru di WeChat.
Shen Luo membukanya dan melihat nama “Ji Qinyang” sebagai catatan.
Begitu ia menyetujui permintaan itu, Ji Qinyang langsung mengirim pesan, [Suamimu menginginkan tanda tanganku?]
Shen Luo membalas santai, [Suamimu sudah setuju.]
Ji Qinyang mendengar ucapan itu dan langsung memahami situasinya: [Dia tidak sadar jika kamu sudah tahu hubunganku dengannya, ‘kan?”
Shen Luo santai menjawab, [Tidak ada yang perlu diributkan mengenai ini.]
Ji Qinyang berkata, [Karena profesi kalian, sebaiknya kalian tetap berhati-hati. Aku juga akan menjaga rahasia mengenai dirimu dan pasanganmu.]
Karena Ji Qinyang sendiri yang membahasnya, Shen Luo menjadi lebih santai dan hanya mengingatkan, [Jangan lupa tanda tangannya.]
Ji Qinyang membalas, [Tidak akan lupa.] Lalu, beberapa saat kemudian, ia mengirim pesan lagi, [Kalau begitu, bisakah kamu memberiku harga diskon untuk foto-foto yang kamu ambil untukku?]
Shen Luo: “…”
Ji Qinyang menambahkan, [Aku baru saja memulai karier, jadi aku akan menganggapnya sebagai sponsor. Aku tidak bisa selalu menghabiskan uang Xie Meng, kesannya aku seperti gigolo.]
Shen Luo berpikir, kamu sudah setampan itu, Xie Meng pasti rela memberikan uangnya.
Ji Qinyang lalu menawar, [Bagaimana jika satu tanda tangan potong 5.000 yuan dari harga? Kamu tidak akan rugi!]
Shen Luo balas, [Jika kamu memberikan dua tanda tangan, bukankah aku harus memberikanya secara gratis?]
Ji Qinyang santai menjawab, [Kalau kamu mau, boleh saja!]
Shen Luo, [Enyahlah!]
Jika dulu di luar negeri, fotografi hanyalah hobi bagi Shen Luo, sekarang setelah kembali ke Tiongkok, dia mulai menganggapnya sebagai skill untuk mencari uang tambahan.
Meskipun secara terbuka selalu mengatakan bahwa dia tidak memotret orang, kemampuan Shen Luo dalam fotografi lanskap sangat hebat, sehingga di industri malah dikenal punya gaya yang unik.
Tentu saja, Shen Luo terpaksa memotret untuk mencari uang.
Gaji di Komisi Regulasi Perbankan terlalu rendah. Sebagai kepala divisi, gajinya bahkan tidak sampai sepertiga dari penghasilan Xia Yiyang. Dari sisi ini, dia dan Ji Qinyang memang seperti saudara seperjuangan.
Setelah sepakat untuk pemotretan, mereka menentukan jadwal di hari Minggu dan harus diam-diam mengatur pertemuan.
Pemandangan Pegunungan Timur dan Barat di Suzhou indah sepanjang tahun, ditambah dekat dengan Danau Tai, jadi pegunungan dan danau bisa tertangkap dalam satu bingkai.
Saat membantu Shen Luo memegang reflektor, Ji Qinyang tidak bisa menahan diri untuk bertanya, “Kamu memakai alasan apa untuk keluar rumah?”
Shen Luo menyelesaikan fokus kameranya sebelum melirik Ji Qinyang, “Aku mengatakan akan berkumpul dengan rekan kantor.”
Ji Qinyang menghela napas, terlihat cukup iri, “Alasan yang tepat, tidak seperti diriku.”
Shen Luo: “?”
Ji Qinyang: “Aku bekerja dari rumah, dan alasan apa pun yang aku temukan untuk keluar tampak terdengar palsu.”
Shen Luo tidak bisa menahan tawa, dia berpindah tempat dan memberi isyarat pada Ji Qinyang untuk mengikutinya, “Lalu alasan apa yang kamu gunakan?”
Ji Qinyang: “Aku mengatakan tidak mendapat inspirasi, jadi keluar untuk mencari suasana.”
Shen Luo: “Xie Meng setuju?”
“Tentu saja.” Ji Qinyang menjawab dengan bangga, “Xie Meng percaya denganku.”
Shen Luo berpikir sejenak, lalu berkata, “Kalau begitu aku tidak bisa melakukan itu. Aku pasti tidak akan senang jika Xia Yiyang ingin keluar sendirian.”
Ji Qinyang mendengus geli, “Manis sekali dirimu.”
Setelah selesai memotret di jalan sekitar danau, mereka bersiap naik ke gunung untuk mengambil gambar bunga dan pepohonan. Karena membawa peralatan besar, mereka sepakat untuk bergantian membawa.
Ji Qinyang bertubuh tinggi dengan kaki jenjang. Meski terlihat kurus, ternyata tenaganya cukup kuat. Mungkin karena selisih usia mereka lebih dari sepuluh tahun, pada akhirnya Shen Luo mulai kewalahan mengikuti langkahnya.
“Baru sekarang aku tersadar bahwa kamu benar-bebar sudah 40 tahun,” ujar Ji Qinyang sambil melepas jaketnya, menyisakan kaos hitam ketat di tubuhnya. Saat itu Shen Luo baru menyadari bahwa Ji Qinyang adalah tipe orang yang terlihat kurus saat berpakaian, tapi ternyata berotot saat membuka baju.
Mungkin karena percaya diri dengan bentuk tubuhnya yang bagus, kaos Ji Qinyang memiliki model leher V yang cukup rendah. Ditambah kulitnya yang putih serta dada bidang yang terlihat menjadi makin mencolok.
Shen Luo berhenti untuk memasang tripod sambil terengah, “Menurutmu, aku terlihat seperti umur berapa?”
Ji Qinyang berpikir sejenak, “Kalau dari wajahnya, paling tua 30 tahun.”
Shen Luo mengutak-atik kameranya sambil menjawab seadanya, “Terima kasih kalau begitu.”
Ji Qinyang melanjutkan, “Tapi pasanganmu malah kelihatan lebih muda lagi, wajahnya seperti bunga mekar.”
Shen Luo mengangkat kepala dan menatap Ji Qinyang dengan pandangan peringatan.
Ji Qinyang merasa tidak adil, “Xie Meng-ku sangat tampan, mengapa kamu khawatir?” Setelah jeda sebentar, dia bergumam pelan, “Kamu sudah tua, tapi masih begitu lengket.”
Shen Luo menanggapinya dengan dingin, “Kamu juga tidak beda jauh. Selalu memuji Xie Meng dalam setiap kesempatan. Apakah di rumah kamu sering kalah berdebat?”
Ji Qinyang terdiam, tidak tahu harus membalas apa.
Sementara itu, Xia Yiyang baru saja selesai makan siang ketika menerima telepon dari Xie Meng. Hari ini kebetulan Shen Luo sedang libur tapi keluar rumah, jadi Xia Yiyang bisa bebas memesan makanan tanpa harus memikirkan soal gizi atau kesehatan. Intinya, asal enak, langsung dipesan.
Xie Meng menelepon dan mengajaknya keluar minum teh. Xia Yiyang, yang akhirnya terbebas dari pengawasan ketat Shen Luo, merasa senang luar biasa, seperti ayam yang lepas dari kandang.
“Tepat waktu sekali, kita bisa mengobrol mengenai investasi pinjaman komersial di kawasan taman industri,” suara Xie Meng di telepon terdengar lembut dan tenang, seolah-olah bisa membayangkan wajah tampannya yang seperti lukisan tinta hitam putih.
Meskipun Xie Meng lebih muda darinya, Xia Yiyang tidak terlalu mempermasalahkannya. Dengan kepribadian setenang itu, wajar saja kalau dia bisa mencapai posisi manajer bank di usia muda.
Mereka membuat janji bertemu di Starbucks di Stone Road Plaza. Sebelum berangkat, Xia Yiyang dengan patuh mengabari Shen Luo lewat pesan, “Aku akan keluar minum teh bersama teman.”
Shen Luo langsung membalas, “Oke, dengan siapa?”
Xia Yiyang mengirimkan emoji bahagia, “Dengan Manajer Xie!”
“…” Shen Luo memandangi pesan itu dengan wajah muram, lalu melirik orang yang berdiri di depannya.
Ji Qinyang terlihat kebingungan, “???”
Tak lama kemudian, ponsel Ji Qinyang berbunyi. Saat dia melihat layar, ternyata ada pesan masuk dari Xie Meng.
Xia Yiyang jarang pergi ke Starbucks, terutama karena dia tidak tahu harus memesan apa. Jadi saat dia tiba, dia tidak menyangka Xie Meng sudah memesan segelas besar jus cranberry dan menunggunya cukup lama.
“Ini tidak mengandung kafein,” kata Xie Meng, yang memesan kopi Americano tanpa gula dan susu. “Kamu pasti bisa meminumnya.”
Xia Yiyang menjadi bingung harus berkata apa. Hanya karena sekali menyebutkan sesuatu, Xie Meng bisa mengingatnya dan memperhatikannya seperti ini…
Xie Meng benar-benar terlalu lembut.
Xia Yiyang berpikir penuh kekaguman.
Orang yang menikah dengannya pasti sangat beruntung.
Xia Yiyang menyimpulkan dalam hati.
Namun, kalimat terakhir ini justru dia ucapkan dengan tulus. Xie Meng yang sedang menyeruput kopi hampir menyemburkannya saat mendengarnya. Wajahnya berubah-ubah beberapa kali sebelum akhirnya hanya bisa mengangguk samar sambil bergumam, “Hmm,” lalu cepat-cepat mengalihkan topik.
“Mengenai proyek investasi komersial di kawasan industri itu, apakah bank kalian tertarik?”
Xia Yiyang menghela napas, “Tentu saja tertatik, tapi proyek sebesar itu pasti diperebutkan oleh empat bank besar. Aku tidak tahu apakah kami bisa mendapatkan bagian atau tidak.”
Xie Meng tersenyum, “Bank kecil seperti kami saja bisa memimpin proyek ini, kenapa kamu masih khawatir?”
Xia Yiyang jadi tergoda, “Aku akan mencoba menghubungi pengembangnya nanti.”
Xie Meng mengangkat cangkir kopinya dan mengetuk ringan gelas jus cranberry di tangan Xia Yiyang. “Semoga kerjasama kita lancar.”
Di sisi lain, Ji Qinyang dan Shen Luo tanpa sadar mempercepat sesi pemotretan. Keduanya seperti punya dorongan kuat untuk segera pulang dan “menangkap” pasangan masing-masing, sampai Ji Qinyang beberapa kali tak tahan dan terus-menerus mengecek ponselnya.
“Kamu bilang, untuk apa mereka bertemu?” Ji Qinyang akhirnya bertanya pada Shen Luo.
Shen Luo berpikir sejenak. “Mungkin mengobrol tentang proyek investasi.”
“Kenapa kamu bisa yakin?” tanya Ji Qinyang lagi.
“Aku baru saja mengecek laporan di bank tempat Xie Meng bekerja belakangan ini,” jawab Shen Luo sambil mengganti lensa kameranya. “Proyek yang dia pegang cukup besar, satu bank saja tidak mungkin bisa menanggung semuanya.”
Ji Qinyang terdiam sebentar, lalu tak tahan memaki, “Sial…”
Shen Luo berkata dengan tenang, “Kalau Xia Yiyang berhasil masuk ke proyek itu, bonus akhir tahunnya akan lima kali lipat dari gajiku.”
Ji Qinyang meliriknya, “Kenapa mereka berdua begitu rajin?”
Shen Luo menyimpan kameranya, wajahnya tampak puas. “Jika tentang Xie Meng aku tidak tahu, tapi Xia Yiyang? Dia hanya ingin bekerja keras agar bisa mendukungku.”
Ji Qinyang: “…”
Xie Meng akhirnya menyimpan ponselnya dan bersandar santai di kursi. “Nanti temanku akan ke sini, apakah kamu ingin ikut makan bersama?”
Xia Yiyang tentu saja langsung menjawab, “Tentu saja!” Tapi kemudian dia teringat Shen Luo dan menambahkan, “Aku akan memberitahu rumah terlebih dulu.”
Saat itu, Shen Luo sedang menyetir mobil ketika telepon dari Xia Yiyang masuk. Ji Qinyang duduk di sampingnya, memperhatikan saat Shen Luo mengangkat telepon.
“Aku akan makan malam dengan Xie Meng,” kata Xia Yiyang dengan nada begitu ceria. “Jangan terburu-buru menyuruhku pulang, oke.”
Shen Luo menarik napas dalam. “Aku ikut.”
Xia Yiyang terkejut. “Untuk apa kamu ikut?”
Shen Luo menjawab santai, “Aku memeriksa banknya. Sudah lama tapi dia belum sekalipun mentraktirku makan dengan benar. Kenapa aku tidak memberinya kesempatan untuk melakukan itu?”
“…” Xia Yiyang buru-buru menutup mulutnya dengan tangan dan berkata pelan, “Aku hanya khawatir. Seseorang dari Komisi Regulasi Perbankan, dan yang lain bekerja di bank, bagaimana menurutmu jika mereka terlihat selalu bersama?”
Shen Luo dengan nada tidak peduli membalas, “Teman Xie Meng yang seorang musisi itu tidak ada hubungannya sama sekali dengan bank, tapi kenapa setiap hari selalu bersama?”
Xia Yiyang: “…”
Di sampingnya, Ji Qinyang sampai menggigit bibirnya dan pura-pura berkata tanpa suara, “Aku masih di sini!”
Shen Luo mengabaikannya dan melanjutkan berbicara dengan Xia Yiyang, “Kamu beritahu Xie Meng, oke.”
Xia Yiyang membalas dengan nada asam, “Kamu memang tidak punya rasa sopan.” Setelah jeda sejenak, dia tiba-tiba merasa ada yang aneh dan bertanya curiga, “Eh… bagaimana kamu tahu kalau teman Xie Meng yang musisi itu akan datang?”
Shen Luo: “…”
Situasi yang paling tidak diinginkan oleh Shen Luo dan Ji Qinyang sepertinya sedang terjadi sekarang.
Xie Meng duduk santai di seberang meja dengan kaki bersilang. Wajahnya tenang dan tak menunjukkan emosi apa pun, hanya jari-jarinya yang mengetuk meja dengan irama pelan.
Di sisi lain, Xia Yiyang tampak sangat gelisah. Dia menyilangkan tangan di dada dan wajahnya jelas-jelas menunjukkan rasa kesal, seolah-olah ada tulisan besar “Aku Tidak Senang” terpampang di dahinya.
Entah sudah berapa lama suasana canggung itu berlangsung, Ji Qinyang akhirnya berdeham pelan.
“Apakah kalian lapar? Bagaimana jika kita pesan makanan terlebih dulu?” katanya sambil tersenyum. Harus diakui, wajah Ji Qinyang yang tampan membuat suasana tegang menjadi sedikit mencair. Begitu dia tersenyum, sulit rasanya untuk tetap marah padanya.
Xia Yiyang yang sebenarnya adalah penggemar musik Ji Qinyang, menjadi sedikit canggung mendengar ajakan itu. Dia buru-buru menurunkan tangannya dan bersiap memanggil pelayan. Tapi sebelum sempat berbicara, suara Xie Meng terdengar datar dari sampingnya, “Apakah kamu lapar?”
Xia Yiyang: “……”
Ji Qinyang: “……”
Shen Luo: “……”
Pertanyaan itu terdengar ringan dan sopan, tapi cukup membuat semua orang di meja terdiam dan tak berani bergerak.
Xie Meng melanjutkan, “Apa yang kamu makan setelah keluar seharian tadi?”
Ji Qinyang langsung menjawab dengan patuh, “Kami baru saja makan di sebuah rumah pertanian di dekat Danau Taihu.”
Xie Meng: “Siapa yang membayar?”
Ji Qinyang langsung diam.
Sebagai pengangguran yang hidup bergantung pada pasangan, tentu saja dia selalu mencari kesempatan makan gratis jika bisa…
Shen Luo mencoba mencairkan suasana, “Hanya makan siang biasa, tidak mahal.”
Xia Yiyang buru-buru mengangguk, “Benar sekali, Direktur Shen adalah pemimpin dengan jabatan yang tinggi, gajinya pasti besar!”
Begitu ucapan itu keluar, Xia Yiyang langsung sadar jika dia baru saja mengatakan sesuatu yang bodoh. Semua orang di sini bekerja dalam sistem yang sama—gaji di Komisi Regulasi Perbankan dan di bank jelas berbeda. Meskipun tidak diungkapkan secara langsung, mereka semua paham betul perbedaannya.
Xie Meng sedikit menekan bibirnya, seolah ingin tertawa tapi menahannya. Setelah beberapa saat, dia akhirnya berkata pelan, “Ji Qinyang juga cukup punya uang, kalian tidak perlu terlalu sungkan.”
Ji Qinyang: “……” 1Keiyuki: 2 seme kek gk ada harga dirinya🤣
Karena Xie Meng sudah bicara begitu, jelas makan malam kali ini harus dibayar oleh Ji Qinyang.
Meski hatinya terasa sakit, sebagai mantan sosialita kaya dan tampan, Ji Qinyang tetap harus menjaga harga dirinya.
Xie Meng benar-benar memikirkan segalanya. Sejak “Ji si Tampan” yang dulu tak tersentuh oleh dunia fana ini jatuh ke realita kehidupan biasa, hidupnya jadi semakin ekstrem. Meski Xie Meng tidak keberatan membiayai Ji Qinyang sepenuhnya, tapi Ji Qinyang sendiri tidak bisa menerima begitu saja.
Sering kali dia terbangun tengah malam karena insomnia, duduk sendiri di halaman.
Karena sudah berhenti minum alkohol, dia hanya bisa menyeduh teh dan minum sambil memandangi bulan.
Kadang-kadang Xie Meng bangun dan keluar untuk menemaninya, tapi lebih sering Ji Qinyang duduk sendirian sampai pagi.
Bagi orang yang dulunya penuh bakat, kini sedang terpuruk, rasanya seperti seorang pahlawan yang harus menelan kekalahan.
Rasa sakit seperti itu, Xie Meng mengerti, tapi dia tak bisa berbuat banyak.
Selain merawat Ji Qinyang sebaik mungkin dan memastikan dia hidup tanpa kekhawatiran, Xie Meng benar-benar tidak bisa melakukan hal lain.
Untungnya, dalam dua tahun terakhir, Ji Qinyang perlahan mulai bangkit lagi. Musik yang dia buat semakin banyak dan namanya mulai dikenal lagi. Tapi kebiasaan hematnya—yang membuatnya begitu pelit sampai-sampai ingin membelah satu yuan jadi setengah—tetap melekat.
Tentu saja, dia memang tak berniat mengubahnya.
“Tidak mudah bagi istri untuk menghasilkan uang,” bisik Ji Qinyang ke telinga Xie Meng saat mengambil makanan, memanfaatkan momen saat Shen Luo dan Xia Yiyang tidak memperhatikan. “Sangat menyakitkan menghabiskan terlalu banyak uang.”
“…” Xie Meng tahu Ji Qinyang memang pintar merayu, sudah bertahun-tahun mendengarnya jadi dia pun terbiasa. “Jadi, Direktur Shen mengambil foto untukmu, dan kamu masih memeras 5.000 darinya?”
Ji Qinyang terlihat canggung. “Dia sudah memneritahumu…”
Xie Meng menghela napas. Dia mengulurkan tangan, jemarinya membelai rambut lembut di belakang kepala Ji Qinyang lalu menariknya pelan. Tiba-tiba, dia tersenyum tipis dan berkata dengan tenang, “Kamu sudah pintar sekarang. Kamu bahkan sudah tahu cara menawar setengah harga.”
Ji Qinyang: “…”
Xie Meng memiringkan kepala, menatapnya. “Apakah sekarang kamu baru tahu malu?”
Ji Qinyang mendekatkan wajahnya, menyentuhkan dahi mereka dan bergumam, “Itu karena senyummu terlalu tampan…”
Baru setelah hidangan disajikan dan siap disantap, Xia Yiyang akhirnya menyadari hubungan antara keempat orang di meja tersebut. Dia telah berusaha menyembunyikannya begitu lama, tapi hanya dia yang tidak mengetahuinya. Mereka bertiga sudah mengetahuinya?!
Xie Meng dengan sabar menjelaskan, “Aku juga baru mengetahuinya. Direktur Shen menelponku dan mengatakan bahwa dia ingin datang untuk makan malam, baru setelah itu dia menceritakannya.”
Tapi perhatian Xia Yiyang malah fokus ke hal lain, “Jadi kamu berbohong padaku dengan mengatakan bahwa kamu sedang makan dengan teman kantor?!”
Shen Luo: “…”
“Tunggu…” Xia Yiyang makin kesal, “Kenapa kamu masih mencari uang tambahan?!”
Shen Luo mengangkat alis, kali ini agak kurang percaya diri, “Hanya… untuk menambah uang jajan saja?”
Hasilnya, Xia Yiyang justru makin sedih, “…Kamu merasa aku tidak cukup memberikan uang, kah?”
Shen Luo terdiam sejenak lalu tertawa, “Apa yang kamu pikirkan?”
Melihat topik ini sudah tidak bisa dihindari, Shen Luo pun akhirnya mengaku. Lagi pula, semua orang di meja ini sudah paham kondisi masing-masing. Dia menghela napas dan berkata, “Aku hanya merasa gajiku kurang, itu saja.”
Xia Yiyang merenung sebentar lalu bergumam pelan, “Tapi aku tidak pernah mengeluh padamu…”
Shen Luo: “…”
Kalau saja Xie Meng dan Ji Qinyang tidak ada di situ, Shen Luo pasti sudah gemas dan mencubit pipi Xia Yiyang.
Orang ini terkadang tidak sadar seberapa menggemaskannya dia saat bicara.
Nada suaranya seperti dilapisi gula, ekspresinya tulus dan begitu manis.
Kenapa dia bisa seimut ini? pikir Shen Luo dalam hati.
Dia menatap wajah Xia Yiyang, lalu hanya menggenggam pelan tangan Xia Yiyang yang ada di atas lututnya.
“Kalian sudah berapa lama bersama?” tanya Ji Qinyang sambil menyeruput sup.
Xia Yiyang agak malu-malu menjawab, “Hampir empat tahun.”
Ji Qinyang tersenyum bangga, “Kalau begitu, kami sudah bersama lebih lama darimu. Kami sudah bersama selama lima belas tahun.”
Xie Meng di sampingnya sepertinya diam-diam menyenggolnya, tapi Ji Qinyang malah bergumam, “Aku tidak salah menghitung…”
Saat mendengar “lima belas tahun”, ekspresi Xia Yiyang hampir tidak bisa dikendalikan. Dia melirik Shen Luo, yang membalasnya dengan senyum menenangkan.
“Kami sudah saling mengenal lama,” ujar Shen Luo sambil meminum tehnya. “Lebih dari lima belas tahun.”
Ji Qinyang berseru, “Bukankah selama itu terbuang sia-sia?”
Shen Luo berpikir sejenak, lalu berkata, “Tidak juga.” Setelah hening sebentar, dia menambahkan pelan, “Sekarang pun belum terlambat.”
Saat mengatakan itu, Shen Luo menatap mata Xia Yiyang.
Jujur saja, Xia Yiyang punya sepasang mata yang indah, sudutnya sedikit turun memberi kesan lembut dan manis. Sekarang, meski sudah lebih tua dan ada kerutan halus di sudut matanya saat tersenyum, matanya tetap mempesona.
Apalagi saat dia menatap Shen Luo—itulah momen terindah baginya.
Saat hampir selesai makan, Ji Qinyang masih memikirkan harga foto yang menurutnya begitu mahal. Begitu Xie Meng pergi mengambil mobil, dia langsung kembali membahasnya dengan Shen Luo.
“Diskon 2.000,” Ji Qinyang mulai merengek sambil mengandalkan wajah tampannya. “Nanti aku akan menulis lagu khusus untuk kalian. Jika lagu itu populer, harganya pasti mahal.”
Shen Luo tersenyum tipis, jelas tidak terlalu percaya, “Kamu bicara seolah-olah lagunya sudah kamu tulis.”
Ji Qinyang tidak terima, “Aku baru saja menulisnya.” Dia merogoh kantong dan mengeluarkan tisu yang penuh coretan, lalu menyodorkannya ke Shen Luo. “Lihat, ambil ini. Anggap saja ini uang muka. Nanti kalau sudah kuberikan nada, aku akan mengirimkanya padamu.”
Shen Luo menerimanya dengan curiga, belum sempat membaca, mobil Xia Yiyang sudah berhenti di depan mereka.
Akhirnya, Shen Luo menyerah juga. Dia menunjuk Ji Qinyang sambil berkata, “Baiklah, diskon 2.000. Tapi transfer uangnya malam ini.”
Ji Qinyang langsung mengangguk semangat, bahkan mengantar Shen Luo masuk mobil seolah-olah sedang melepas tamu penting. Xia Yiyang yang duduk di kursi pengemudi menatap mereka bingung, “Apa yang sedang kalian bicarakan?”
Shen Luo menyodorkan tisu berisi coretan itu ke Xia Yiyang, “Ini bernilai 2.000, jaga baik-baik.”
Xia Yiyang hanya dapat terdiam, “….”
Saat berhenti di lampu merah, Shen Luo membuka tisu itu. Ji Qinyang sepertinya memggunakan pulpen bekas untuk menulis, sampai beberapa bagian tisunya robek karena ditekan terlalu keras.
Xia Yiyang menyetir sambil bertanya, “Apa yang dia tulis?”
Shen Luo mengangkat alis, “Lirik lagu, tapi nadanya seperti puisi.”
Xia Yiyang tertawa, “Kalau begitu bacakan untukku, aku ingin mendengarnya.”
Shen Luo membersihkan tenggorokannya, lalu mulai membaca dengan pelan.
Bunga dalam perjalanan waktu
Di manakah dia mekar?
Terkubur di tanah waktu
Kapan dia akan berakar dan bertunas?
Bunga dalam perjalanan waktu
Di sanakah dia mekar?
Suatu hari tumbuh ranting dan dahan
Tapi aku enggan memetiknya
Bunga dalam perjalanan waktu
Akhirnya dia bermekaran
Begitu indah rupanya
Menghangatkan rambut putihmu yang renta
Bunga dalam perjalanan waktu
Kini mekar di dalam hatiku
Tak peduli dunia runtuh dan langit terbelah
Itulah wujud cintaku padamu.
-Tamat-
Anak ayam memiliki sesuatu untuk dikatakan:
Keiyuki: Hai haiii!!! Keiyuki kembali lagii, sebulan ini sudah berapa kali aku nulis pesan dan kesan, wkwkwk.. kali ini The Flowers Blooming Over The Years akhirnya tamat, bab-nya memang cuma sedikit tapi menunggu terjemahan Inggrisnya itu cukup lama, hingga akhirnya kami memutuskan melanjutkan dari raws-nya (mantap). Makasih ya kak Rusma atas tambahan rawsnya🤣 tapi gak papa, ceritanya bagus untungnya jadi trabas aja. Buat temen-temen Hiyoko, makasih ya sudah baca kisahnya Shen Luo dan Xia Yiyang yang sama-sama bucin, walaupun si Shen lebih tepatnya bulol sih ya.. Semoga kalian menikmati cerita ini sama halnya seperti kami ya✨ Baibai, dan tunggu projek baru dari kami.
Rusma: Hai hai ini Meowzai, satu judul lagi sudah selesai di terjemahkan yaaaa, The Flowers Blooming Over The Years bener-bener membusuk di list karena penerjemah Inggris tidak lanjut, jadi setelah beberapa judul selesai aku minta tolong Keiyuki buat terjemahin dari China-Indonesia langsung, thank you so much Dee ヾ( ˃ᴗ˂ )◞ • *✰ aku bisa lihat kebucinan Shen Luo untuk Xia Yiyang ehe aku suka mereka berdua🫶🏻🫶🏻. Terima kasih juga untuk teman-teman Hiyoko yang sudah menunggu dan membaca terjemahan ini. Sampai jumpa di projek selanjutnya yaaa ⸜(。˃ ᵕ ˂ )⸝♡