Penerjemah: Keiyuki
Proofreader: Rusma
Epilog – Bagian Dua
Shen Qiao memang ingin kembali ke Chang’an. Bagaimanapun, Yuan Ying masih berada di sana mengawasi pembangunan Kuil Xuandu. Karena kurang pengalaman, tidak mungkin membiarkannya sendirian terlalu lama.
Begitu Kuil Xuandu selesai dibangun, Dinasti Sui pasti akan mengeluarkan dekrit resmi. Bahkan, mungkin kaisar sendiri akan memanggilnya. Saat itu, sebagai pemimpin sekte, ia harus hadir. Jika membiarkan Yuan Ying yang kurang pandai bicara menghadapi kaisar, Shen Qiao bahkan tidak perlu membayangkan untuk tahu betapa tidak tepatnya itu.
Setelah mempertimbangkan semuanya, Shen Qiao pergi mencari Yu Shengyan untuk berpamitan. Namun, selama dua hari berturut-turut, Yu Shengyan selalu pergi pagi dan pulang larut, sehingga mereka tidak sempat bertemu. Hingga hari ketiga, akhirnya Shen Qiao berhasil menahannya di depan pintu.
Yu Shengyan tersenyum. “Sekarang Guru sedang sakit, jadi sebagai murid, aku harus menggantikannya untuk mengurus berbagai urusan. Lihat ini—”
Ia mengangkat surat di tangannya. “Aku masih harus mengantar surat untuk Pemimpin Kuil Yi. Jika Pendeta Tao Shen ada urusan, lebih baik langsung berbicara dengan Guru. Aku yakin dia pasti akan menyetujuinya!”
Shen Qiao menahannya dan berdeham pelan. “Sebenarnya, aku tidak perlu menemuinya. Aku hanya ingin berpamitan, dan menyampaikannya kepadamu pun sama saja.”
Yu Shengyan berkata dengan sungguh-sungguh, “Pendeta Tao Shen, hubunganmu dan Guru begitu dekat. Jika dia tahu kamu pergi tanpa pamit, pasti aku yang akan dimarahi. Jika memang ingin pergi, lebih baik kamu mengatakannya langsung kepada Guru, agar aku tidak berada dalam posisi sulit!”
Shen Qiao sebenarnya tidak ingin menemui Yan Wushi, itulah sebabnya ia datang mencari Yu Shengyan.
Jauh di dalam hatinya, ia memang tidak tahu bagaimana menghadapi Yan Wushi, jadi satu-satunya cara adalah menghindarinya.
Yu Shengyan baru saja hendak bicara ketika seseorang buru-buru keluar dari dalam, berbisik beberapa patah kata di telinganya. Wajah Yu Shengyan langsung berubah drastis, dan ia berseru, “Bagaimana bisa? Pagi tadi dia masih baik-baik saja!”
Shen Qiao mendengar jelas kata-katanya, jantungnya langsung melompat ke tenggorokan. “Apa yang terjadi?”
Yu Shengyan berusaha keras menenangkan diri. Berbeda dengan sikapnya barusan yang mencoba menahan Shen Qiao, kini ia malah berkata, “Tidak ada apa-apa. Aku masih ada urusan, mohon maaf harus pergi terlebih dulu!”
Begitu selesai bicara, ia langsung berbalik dan pergi bersama orang tadi, tanpa memberi Shen Qiao kesempatan untuk bertanya lebih lanjut.
Shen Qiao berdiri di tempat, semakin memikirkan percakapan tadi, semakin merasa hal itu pasti berkaitan dengan Yan Wushi. Semakin dipikirkan, hatinya semakin cemas. Maka, ia pun berbalik dan berjalan menuju kamar Yan Wushi.
Belum sampai di dekatnya, ia sudah melihat orang-orang berlalu lalang keluar-masuk. Ada yang membawa air panas, ada yang membawa pakaian bekas untuk diganti. Mata Shen Qiao yang tajam langsung menangkap noda darah di pakaian yang dibawa seseorang.
Jantung Shen Qiao seakan berhenti berdetak sejenak. Tanpa memikirkan hal lain, ia langsung menerobos masuk ke dalam ruangan.
Melewati penyekat, ia tiba di kamar tidur.
Di atas dipan, seseorang terbaring diam—tanpa diragukan lagi, itu adalah Yan Wushi.
Matanya terpejam, wajahnya pucat sedingin es. Sekilas, ia tampak sama seperti saat dibawa turun dari Puncak Setengah Langkah waktu itu.
Dalam sekejap, jantung Shen Qiao hampir berhenti. Ia segera melangkah maju, hendak meraih pergelangan tangan Yan Wushi untuk memeriksa denyut nadinya dengan saksama.
Namun, tepat saat itu, Yan Wushi perlahan membuka matanya.
“Kamu bukannya akan pergi? Kenapa masih di sini?”
Nada suaranya dingin, tanpa sedikit pun senyum seperti sebelumnya. Tatapannya terhadap Shen Qiao pun sedalam kolam es, tidak terukur dasarnya.
Shen Qiao tertegun.
Kata-kata perpisahan yang sudah siap dibibirnya, pada akhirnya tidak bisa ia ucapkan.
Yan Wushi kembali menutup matanya dan berkata dengan datar, “Aku tidak apa-apa. Jika kamu ingin pergi, pergilah.”
Dulu, apa pun yang diinginkan Yan Wushi, ia akan melakukan segala cara untuk mencapainya tanpa ragu. Shen Qiao telah cukup lama mengenalnya dan memahami sifatnya dengan baik. Maka, melihat perubahan sikapnya yang kini begitu dingin dan acuh tak acuh, bertolak belakang seperti sebelumnya, Shen Qiao justru merasa tidak nyaman, bukannya lega atau gembira.
Ia menenangkan diri sejenak, lalu berkata, “Menolong seseorang harus sampai akhir. Karena aku sudah membawamu turun dari Puncak Setengah Langkah, tentu aku harus memastikan kamu benar-benar pulih sebelum pergi.”
Pada awalnya, ia mengira kondisi Yan Wushi sudah membaik, tetapi kejadian tadi kembali membuatnya cemas.
Namun, Yan Wushi justru menolak diperiksa. “Terima kasih atas kebaikan Pemimpin Sekte Shen. Kamu telah berulang kali menyelamatkan nyawaku, dan aku akan selalu mengingatnya. Tapi di Sekte Bulan Jernih, kami punya tabib sendiri. Aku tidak berani lagi merepotkanmu.”
Sambil berkata demikian, ia menarik tangannya ke dalam selimut dan langsung memejamkan mata, berpura-pura tidur.
Di sampingnya, Yu Shengyan tampak ragu sejenak. Mungkin karena tidak tega melihat Shen Qiao terdiam kebingungan, ia akhirnya berkata, “Pendeta Tao Shen…”
Shen Qiao tersadar dari lamunannya dan bertanya, “Tadi aku melihat pakaian bernoda darah. Itu sebenarnya kenapa?”
Yu Shengyan tampak canggung. “Aku tadi mengupas buah dan tidak sengaja melukai jariku.”
Ia mengangkat tangannya untuk menunjukkan luka di telapak tangan—memang ada sobekan kecil, darahnya sudah berhenti, dan ditaburi bubuk obat. Bekas luka yang bercampur dengan bubuk putih itu tampak agak mengerikan.
Namun, Shen Qiao sudah terbiasa melihat luka yang jauh lebih parah, jadi baginya ini bukan apa-apa.
Yu Shengyan berbakat alami dalam seni bela diri dan mewarisi banyak keunggulan gurunya. Satu-satunya yang kurang darinya adalah pengalaman dan wawasan. Tetapi kesalahan seremeh melukai tangan sendiri saat mengupas buah? Mari abaikan Yu Shengyan, bahkan orang yang hanya memiliki sedikit ilmu seni bela diri pun tak akan sampai melakukan itu.
Namun, karena pikirannya sedang kacau, Shen Qiao tidak menyadari keanehan yang begitu jelas itu.
Ia menoleh dan melihat Yan Wushi lagi. Pihak lain masih memejamkan mata, seolah sudah benar-benar tertidur.
Dengan sifatnya, Shen Qiao tentu tidak mungkin melakukan hal seperti mengguncang orang yang sedang tidur agar bangun. Tetapi entah kenapa, di dalam hatinya, timbul perasaan sejenis kekecewaan dan ketidakadilan: Jelas-jelas kamu yang dulu mendekatiku, lalu kenapa sekarang malah bersikap seolah tidak mengenalku?
Tentu saja ia tidak akan berpikir sefrontal itu, tetapi kurang lebih begitulah intinya.
Yu Shengyan berdiri di antara keduanya. Semakin lama, semakin terasa ada atmosfer aneh di dalam ruangan. Demi menghindari situasi yang lebih canggung, ia buru-buru membuka suara untuk mencairkan suasana.
“Pendeta Tao Shen, kebetulan aku juga ingin pergi ke Chang’an menemui Shixiong. Bagaimana kalau kita pergi bersama?”
Shen Qiao menggelengkan kepalanya. “Kamu jaga gurumu baik-baik, aku akan berangkat terlebih dulu.”
Ia tidak lagi menoleh ke Yan Wushi, tetapi suaranya tetap lembut, jelas demi menghormati orang yang sedang beristirahat.
Melihat punggung Shen Qiao yang perlahan menjauh, Yu Shengyan mengusap hidungnya. “Guru, apa tidak keterlaluan? Sepertinya Pendeta Tao Shen marah.”
Yan Wushi membuka matanya dan berkata dengan malas, “Tanpa obat yang kuat, bagaimana bisa mendapatkan hasil yang baik?”
Ia lalu melirik Yu Shengyan. “Aku bersikap dingin padanya ada alasannya. Kamu tidak boleh menunjukkan sedikit pun ketidakhormatan padanya.”
Yu Shengyan buru-buru mengangguk. “Murid ini tidak berani!”
Mana mungkin ia berani? Tidak hanya karena Shen Qiao punya hubungan yang dalam dengan gurunya, tetapi juga karena ia adalah salah satu dari sepuluh ahli terhebat di dunia dan seorang pemimpin sekte. Dalam hal apa pun, Yu Shengyan hanya dapat memandangnya dengan rasa hormat.
“Tapi kalau Pendeta Tao Shen benar-benar pergi…?” Jangan-jangan Guru terlalu berlebihan? Shen Qiao mungkin tampak lembut di luar, tapi hatinya kuat dan teguh. Kalau ia benar-benar marah dan pergi, mungkin tidak akan mudah untuk membujuknya kembali.
Yan Wushi tersenyum tipis. “Sebenarnya, dalam hatinya, ia memang sudah ingin pergi. Hanya saja, ia tidak bisa menurunkan egonya dan masih terikat oleh hati Dao-nya sendiri.”
Yu Shengyan dalam hati berpikir, Benarkah? Kenapa aku sama sekali tidak melihatnya?
Seolah bisa membaca pikirannya, Yan Wushi berkata, “Kamu perlu belajar lebih banyak tentang menilai orang dari Bian Yanmei selama beberapa tahun lagi.”
Ketahuan dalam sekejap, Yu Shengyan hanya dapat menjulurkan lidah diam-diam dan tidak berani mengatakan apa-apa lagi.
Shen Qiao memang benar-benar pergi. Keesokan paginya, sebelum Yu Shengyan sempat mengantarnya, seorang pelayan sudah datang melapor bahwa Pendeta Tao Shen telah berangkat.
Namun, sebelum pergi, Shen Qiao tetap meninggalkan beberapa resep obat dan pil untuk membantu pemulihan Yan Wushi.
Ia memang berhati lembut dan baik, tetapi itu tidak berarti ia bodoh. Yan Wushi tiba-tiba berpura-pura sakit—meskipun Shen Qiao tidak sempat memeriksa nadinya, setelah kembali ke kamarnya, ia pun dapat menebak sebagian besar alasannya. Karena itu, rasa kesal pun muncul di hatinya. Awalnya, ia berniat tinggal beberapa hari lagi, tetapi akhirnya ia memutuskan untuk pergi keesokan paginya tanpa menunggu lebih lama.
Pada awalnya, Shen Qiao memang menuju ke Chang’an. Namun, ketika melewati Provinsi Feng, ia justru bertemu dengan Yuan Ying yang datang mencarinya.
Setelah kembali memimpin Gunung Xuandu, Shen Qiao mengirim dua penatua untuk membantu Yuan Ying. Meskipun Yuan Ying tidak ahli dalam konstruksi, ia tetap berhati-hati dan memeriksa lokasi pembangunan setiap hari. Hingga suatu hari, Gu Hengbo juga datang ke Chang’an untuk menemui Shen Qiao.
Yuan Ying segera menyadari bahwa Gu Hengbo jauh lebih teliti dan cakap dalam mengawasi pembangunan dibanding dirinya. Kebetulan, kabar pertempuran antara Yan Wushi dan Hulugu telah menyebar ke seluruh negeri. Yuan Ying merasa cemas, lebih takut jika Hulugu menang dan kemudian mencari masalah dengan Shen Qiao. Maka, ia pun menyerahkan urusan Kuil Xuandu kepada Gu Hengbo dan meninggalkan Chang’an untuk mencari Shen Qiao.
Di antara lima murid Qi Fengge, hanya Yuan Ying yang tidak menguasai urusan administrasi. Ia lebih suka berlatih dan membaca, jarang meninggalkan Gunung Xuandu. Sementara itu, keempat murid lainnya memiliki keahlian masing-masing. Bahkan Tan Yuanchun dan Yu Ai pernah banyak membantu Shen Qiao ketika ia baru menggantikan Qi Fengge sebagai pemimpin sekte. Tan Yuanchun unggul dalam melatih murid-murid, sedangkan Yu Ai lebih terampil menangani urusan administrasi harian.
Gu Hengbo, meskipun seorang perempuan, tidak diperlakukan berbeda oleh Shen Qiao. Ia diajarkan setara dengan Yuan Ying. Kepribadiannya memang lebih dingin, tetapi ia bekerja dengan cekatan, tegas, dan terorganisir. Dengan kehadirannya mengawasi pembangunan Kuil Xuandu serta mengatur urusan di ibu kota, Shen Qiao tentu lebih merasa tenang dibanding jika hanya mengandalkan Yuan Ying.
Setelah bertemu dengan Yuan Ying dan memastikan Shen Qiao baik-baik saja, Yuan Ying pun merasa lega. Sementara itu, Shen Qiao, yang tahu bahwa Gu Hengbo bisa diandalkan di Chang’an, tidak lagi terburu-buru pergi ke sana. Ia menyuruh Yuan Ying untuk kembali terlebih dahulu, sedangkan dirinya sendiri mengubah rutenya ke Provinsi Yuan dan berencana untuk mengunjungi Dinasti Chen.
Shen Qiao hanya pernah mengunjungi Dinasti Chen sekali. Saat itu, Yuwen Qing pergi ke selatan sebagai utusan Dinasti Zhou, ditemani Yan Wushi atas perintah Kaisar Zhou, Yuwen Yong. Shen Qiao juga ikut serta dalam rombongan tersebut. Namun, pada waktu itu, kekuatannya belum pulih sepenuhnya, bahkan matanya masih belum sembuh. Agar tidak merepotkan orang lain, ia hanya keluar dari penginapan sekali saja. Dinasti Chen yang luas hanya bisa ia lihat sekilas, meninggalkan penyesalan di hatinya. Kini, dengan kesempatan baru, ia ingin melihatnya dengan mata kepala sendiri.
Saat itu, meskipun dunia terbagi antara Chen di selatan dan Sui di utara, masih ada kekuatan lain yang turut bermain. Selain ancaman dari Tujue, terdapat juga Dinasti Liang yang berpusat di Jiangling serta suku Pu yang menguasai barat daya Dinasti Chen. Sejak migrasi Dinasti Jin ke selatan, rakyat telah mengalami penderitaan akibat perang dan pengungsian selama berabad-abad. Mereka semua mendambakan seorang pemimpin bijak yang dapat menyatukan utara dan selatan, menstabilkan Dataran Tengah, dan membawa kehidupan yang lebih damai.
Namun, setelah berabad-abad berlalu, yang datang justru zaman Lima Barbar yang mengacaukan Dataran Tengah. Selatan terus berganti dinasti, dari Song hingga Chen, sementara di utara, Zhou digantikan oleh Sui. Harapan akan persatuan masih belum terwujud. Tidak ada yang tahu kapan pemimpin yang dinanti-nantikan itu akan muncul. Tidak ada yang dapat memastikan apakah Chen atau Sui yang akan menyatukan negeri, atau malah Tujue yang akan memanfaatkan kekacauan ini.
Dunia yang dilanda perang penuh dengan ketidakpastian. Tidak ada sarjana atau pemikir yang berani mempertaruhkan nyawanya untuk menjawab pertanyaan tentang siapa yang akan menguasai negeri ini. Bahkan Yan Wushi pun tidak dapat memastikan. Sebab, kaisar yang pernah ia dukung, Yuwen Yong, akhirnya kehilangan tahtanya hanya karena kelemahan para penerusnya, membuat dinasti Zhou berakhir dalam sekejap.
Saat ini, meskipun Yang Jian dari Dinasti Utara menunjukkan bakat sebagai pemimpin yang hebat, kaum bangsawan di selatan memandangnya dengan hina. Mereka menganggapnya sebagai mantan pejabat di bawah kekuasaan Xianbei, bahkan marganya pun berasal dari Xianbei. Namun, setelah merebut tahta dan menjadi kaisar, ia langsung mengganti marganya dengan nama keluarga Han serta mengklaim garis keturunannya berasal dari keluarga bangsawan Dataran Tengah. Bagi mereka, tindakan ini adalah puncak dari ketidakbermoralan. Bagaimana mungkin orang seperti itu bisa menyatukan dunia?
Kaum Konfusian yang mengklaim diri sebagai pewaris ortodoksi, serta akademi seperti Akademi Linchuan di Dinasti Selatan, tentu mendukung kaisar Chen sebagai pemimpin yang sah. Mereka percaya bahwa hanya kaisar Chen yang layak untuk menstabilkan negeri dan menyatukan dunia.
Dilihat dari kondisi saat ini, kaisar Chen memang pandai dalam mempertahankan kekuasaannya, pemerintahannya relatif bersih, dan ada tanda-tanda kemakmuran di wilayahnya.
Shen Qiao mendukung Yang Jian bukan semata-mata karena kata-kata Yan Wushi, melainkan karena ia sendiri melihat kecerdasan dan kompetensi Yang Jian. Seorang pemimpin tidak hanya harus cerdas, tetapi juga memiliki sikap toleran terhadap orang-orang berbakat. Semua kualitas ini dimiliki oleh Yang Jian.
Namun, hal itu saja tidak cukup. Oleh karena itu, Shen Qiao berencana untuk mengunjungi Dinasti Chen, baik untuk menyegarkan pikirannya maupun untuk merasakan langsung budaya dan keadaan di sana. Pengalaman langsung tentu lebih berharga daripada sekadar mendengar kabar dari orang lain.
Dalam perjalanannya menuju Jiankang, Shen Qiao bertemu dengan sebuah keluarga bermarga Li yang berasal dari Jiangzhou dan berencana pergi ke Jiankang untuk mencari sanak saudara. Keluarga Li ini cukup kaya, sehingga mereka menyewa pengawal untuk melindungi mereka selama perjalanan.
Ketika bertemu Shen Qiao dan mengetahui bahwa tujuannya sama, mereka mengundangnya untuk bepergian bersama.
Jiangzhou saat ini berada di wilayah Dinasti Sui. Perjalanan dari Jiangzhou ke Jiankang berarti melintasi dua negara yang berbeda. Meskipun pemerintahan tidak melarang interaksi antara rakyat, kondisi politik yang terpecah menciptakan celah bagi para perampok untuk berkeliaran di daerah-daerah yang kurang terjaga. Oleh karena itu, warga sipil yang hendak melakukan perjalanan jauh biasanya lebih suka bepergian dalam kelompok besar demi keamanan.
Nyonya Li, yang telah kehilangan suaminya, berencana membawa putrinya ke Jiankang untuk mencari perlindungan di rumah keluarganya. Meskipun ia memiliki beberapa pelayan dan telah menyewa pengawal, ia tetap merasa tidak aman.
Sementara itu, Shen Qiao memiliki penampilan yang ramah dan bersahabat, serta membawa pedang panjang yang menunjukkan bahwa ia memiliki kemampuan seni bela diri. Di masa-masa sulit seperti ini, memiliki satu orang tambahan dalam rombongan berarti memiliki perlindungan ekstra.
Melihat bahwa mereka hanyalah seorang ibu dan anak yang bepergian, serta kebetulan memiliki tujuan yang sama, Shen Qiao pun setuju untuk bergabung. Ia menunggang kuda dan berjalan bersama para pengawal.
Biro pengawalan ini mengirimkan empat orang untuk mengawal keluarga Li, dengan seorang kepala pengawal bermarga Liu. Keputusan untuk mengirim empat pengawal juga dipengaruhi oleh bayaran besar yang diberikan oleh keluarga Li. Jika tidak, mereka mungkin hanya akan mengirim dua orang saja, karena bagi mereka, melindungi dua wanita dan beberapa pelayan bukanlah tugas yang sulit.
Pada awalnya, Kepala Pengawal Liu merasa penasaran terhadap Shen Qiao dan mencoba menanyakan identitasnya. Namun, Shen Qiao tidak mengungkapkan semuanya secara terbuka. Ia hanya mengatakan bahwa dirinya adalah seorang pendeta Tao pengembara yang pernah belajar seni bela diri selama beberapa tahun dan kini sedang menjelajahi dunia.
Di zaman itu, pendeta Tao pengembara bukanlah hal yang langka. Liu, yang telah banyak bepergian dan bertemu berbagai macam orang, tidak terlalu tertarik setelah mendengar jawaban itu. Sebaliknya, ia malah mencurigai Shen Qiao. Menurutnya, mungkin pria itu hanya mengandalkan wajah tampannya untuk memikat Nona Li dan berencana merampas hartanya. Bahkan, bisa saja ia memiliki niat buruk terhadap kecantikan gadis itu.
Sebenarnya, kecurigaan ini tidak sepenuhnya tanpa alasan. Putri keluarga Li masih sangat muda dan baru mulai mengenal cinta. Menghadapi seorang pendeta Tao yang berpenampilan tenang dan penuh karisma seperti Shen Qiao, ia jelas tidak memiliki banyak daya tahan. Meskipun tidak berani menunjukkan perasaannya secara langsung di depan banyak orang, ia beberapa kali mengirim makanan dan barang-barang kecil kepada Shen Qiao melalui perantara. Walaupun dalam pengiriman itu juga disertakan bagian untuk Liu, namun Liu dengan mudah dapat melihat bahwa perhatian utamanya sebenarnya ditujukan kepada Shen Qiao.
Shen Qiao sadar bahwa kesalahpahaman Liu tidak akan mudah dihilangkan, dan menjelaskannya hanya akan memperburuk keadaan. Baginya, ini bukan masalah besar—lagipula, mereka akan berpisah begitu tiba di Jiankang. Perjalanan hanya akan berlangsung beberapa hari lagi, jadi ia tidak merasa perlu menjelaskan panjang lebar kepada orang yang baru dikenalnya.
Mereka pun terus melakukan perjalanan bersama selama beberapa hari. Saat tiba di kaki Gunung Qianlong di wilayah Huainan, mereka menyadari bahwa kota terdekat masih cukup jauh, dan tidak mungkin mereka mencapainya sebelum malam tiba. Kepala Pengawal Liu lalu memberi isyarat agar rombongan beristirahat di tempat tersebut untuk bermalam.