Penerjemah: Keiyuki
Proofreader: Rusma
Epilog – Bagian Tujuh
Shen Qiao baru saja hendak mundur ketika pinggangnya tiba-tiba terkunci erat. Seketika dunia terasa berputar, dan di detik berikutnya, tubuhnya sudah terhimpit ke dinding batu di samping.
Yan Wushi tentu saja tidak memberinya kesempatan sedikit pun untuk melawan. Tubuh mereka menempel rapat, bayangan mereka di tanah hampir melebur menjadi satu. Shen Qiao bahkan belum sempat bereaksi ketika kedua kakinya dipaksa terbuka, dan sebuah lutut kuat mengunci posisinya, membuatnya tidak dapat bergerak.
Shen Qiao langsung tertegun. Ia mendadak merasa tindakannya barusan agak gegabah. Tetapi sekarang sudah terlambat—Yan Wushi menutup bibirnya dengan ciuman yang dalam, menelan semua kata-katanya tanpa sisa.
Tindakan agresif seperti ini, ketika dilakukan oleh Yan Wushi, justru membuat wajah memanas. Seakan sedang menikmati hidangan mewah, ia terlebih dahulu melahapnya dengan rakus, mengukuhkan kepemilikan, lalu memperlambat gerakan, mencicipi dengan saksama, meresapi setiap rasa yang tersembunyi.
Dibandingkan Shen Qiao, pengalaman Yan Wushi jelas jauh lebih luas. Namun justru karena telah melalui begitu banyak hal, ia mampu merancang semuanya dengan hati-hati, menuntun Shen Qiao hingga akhirnya datang sendiri ke pelukannya. Kini, saat ia benar-benar bisa memiliki “hidangan” ini sepenuhnya, setiap rasa yang ia cicipi terasa semakin memuaskan dan tak terlupakan.
Ia membuka bibir Shen Qiao, satu tangan mencengkeram dagunya, sementara lidahnya dengan leluasa menjelajahi bagian dalam. Setelah kebingungan awal, Shen Qiao mulai mengikuti gerakannya, mencoba meniru dengan canggung. Namun, Yan Wushi tidak memberinya kesempatan untuk belajar—dengan sedikit kejam dan tegas, ia tiba-tiba menarik diri, lalu menggigit dagunya, menjilati dan menghisap dengan perlahan, sebelum terus bergerak ke bawah.
Bibirnya bergerak, begitu pula tangannya. Tangan yang tadi menekan pergelangan Shen Qiao ke dinding kini bergeser, ibu jari dan telunjuknya mengusap lembut, memainkan dan menikmati setiap lekuknya.
Tangan Shen Qiao, yang terbentuk oleh latihan seni bela diri, memiliki tulang yang tegas dan jelas, namun sama sekali tidak kasar. Justru, ia terasa seperti patung giok putih berkualitas tinggi—halus, lembut, namun lebih hangat dan bernyawa dibanding batu mulia mana pun, sebuah harta tak ternilai yang bahkan emas pun tidak dapat membelinya.
Tangan Yan Wushi menyelinap masuk ke dalam lengan baju yang longgar, perlahan naik hingga menopang siku Shen Qiao. Sementara itu, tangan satunya mengelus dan meremas lembut di pinggangnya, tanpa sekalipun merusak kerapihan pakaiannya. Namun, gerakan itu terlalu sulit untuk dijelaskan—bahkan seseorang seperti Shen Qiao, yang tidak pernah mengalami hal semacam ini, dibuat panas dan merah padam. Sudut matanya mulai basah, tubuhnya kehilangan kekuatan, dan ia benar-benar melemas.
“Kamu tahu apa hal yang paling kusesali sekarang?” Yan Wushi tiba-tiba bertanya.
Shen Qiao menatap balik dengan bingung. Pikirannya seolah telah dikacaukam hingga menjadi bubur oleh tangan tak kasatmata, membuat tatapannya dipenuhi kebingungan. Pelipisnya yang sedikit berantakan semakin menambah kesan dirinya seperti seekor hewan kecil yang jinak dan tak berdosa, menunggu seseorang dengan niat buruk untuk menerkamnya.
Yan Wushi tersenyum tipis. “Andai aku tahu akan seperti ini, sejak awal aku seharusnya membeli seluruh rumah di gang ini.”
Apa hubungannya membeli rumah dengan penyesalan?
Shen Qiao yang masih linglung hanya sempat berpikir sebentar sebelum rasa geli dan gatal menjalar dari jakunnya yang tengah digigit dan dihisap. Ia ingin melawan, tetapi tubuhnya terasa lemah. Tangannya terangkat, namun hanya mampu bertumpu di bahu lawan, membuatnya tampak seolah ragu antara menolak atau menerima.
Yan Wushi tertawa pelan. Ia sudah melihat banyak orang polos dan naif, tetapi tidak ada satu pun yang dapat menyentuh hatinya seperti Shen Qiao—membuatnya benar-benar menyukai seseorang dari lubuk hatinya yang terdalam.
Ia sangat ingin mendekap pihak lain ke dalam pelukannya, menyimpannya dekat di sisinya, menjaganya dengan cermat agar tidak seorang pun bisa melihatnya—hanya Yan Wushi seorang.
Namun, Shen Qiao bukanlah sosok yang lemah dan rapuh. Ia adalah seorang ahli yang berdiri di puncak bersama orang-orang terkuat di dunia ini. Di luar lembut, di dalam tegar—bahkan siksaan paling kejam, badai paling ganas, tidak akan mampu menghancurkan keteguhan hatinya. Ia memiliki prinsipnya sendiri dan bersedia berjalan maju tanpa ragu demi keyakinannya, tanpa pernah menoleh ke belakang.
Yan Wushi tidak pernah mengakui konsep moral semacam itu. Dalam puluhan tahun hidupnya, ia bukan hanya meremehkan kebaikan dan kelembutan semacam ini, tetapi bahkan menikmati menjatuhkan mereka yang berpegang teguh pada nilai-nilai itu. Namun, sikapnya ini justru tidak berlaku ketika berhadapan dengan Shen Qiao.
Hanya Shen Qiao yang membuatnya bersedia mengalah, meskipun ia sendiri tidak menyetujuinya, bahkan tidak menyukainya.
Namun, prinsip yang selama ini ia junjung tinggi itu, kini bersedia ia langgar hanya untuk orang ini.
“Mm… ada orang…”
Pendengaran Shen Qiao sangat tajam. Ia mendengar suara langkah kaki di luar gang, masih jauh, tetapi cukup untuk sedikit menyadarkannya. Ia mencoba mendorong dengan lebih kuat, lalu suara lirih hampir seperti erangan meluncur dari bibirnya. Begitu suara itu keluar, ia langsung terkejut sendiri—suaranya berubah drastis tanpa ia sadari.
Yan Wushi hanya bergumam ringan sebagai jawaban, tetapi sama sekali tidak menghentikan gerakannya. Begitu ia memutuskan untuk menggunakan kesabaran luar biasa dalam menggoda seseorang, maka orang itu tidak akan memiliki pilihan lain selain tenggelam dalam cengkeramannya.
Terlebih lagi jika orang itu adalah seorang pendeta Tao “murni dan polos” seperti Shen Qiao.
Teknik Yan Wushi yang terlampau mahir dengan cepat membuat Shen Qiao hampir melupakan langkah kaki di luar sana.
Hanya hampir.
Beberapa saat kemudian, Shen Qiao meraih salah satu tangan Yan Wushi, wajahnya merah padam. “Di siang bolong seperti ini…”
Yan Wushi menyela, “Di siang bolong seperti ini, Pendeta Tao Shen malah menggodaku di tempat ini.”
Shen Qiao: “…”
Yan Wushi melanjutkan dengan nada santai, “Namun, aku bersumpah tidak akan menyerah begitu saja. Aku melawan dengan sekuat tenaga, membalik keadaan, hingga akhirnya Pendeta Tao Shen yang tidak tahu malu ini tidak berkutik di tanganku.”
Sambil berkata demikian, ia benar-benar menangkap kedua tangan Shen Qiao, memutarnya ke belakang. “Siapa sangka, pendeta Tao Shen yang selalu tampak bermartabat dan dihormati, ternyata aslinya adalah orang yang tidak bisa menahan diri saat melihat keindahan.”
Shen Qiao: “…”
Di satu sisi, ia terkejut dengan betapa tak tahu malunya orang ini, tidak menyangka di dunia ini ada seseorang yang bisa membalikkan fakta dengan begitu lancar. Namun, di sisi lain, pikirannya hampir sepenuhnya buyar oleh keterampilan luar biasa dari tangan pihak lain yang dengan cekatan menjelajahi tubuhnya.
Sisa kesadarannya yang tinggal sedikit jelas bukan tandingan Master Sekte Yan.
Sementara itu, suara langkah kaki semakin mendekat. Seorang pemuda berpakaian pendek, tampaknya baru saja pulang bekerja, membawa sebungkus kue isi yang dibelinya di ujung jalan. Ia memilih jalan pintas melewati gang ini, tetapi tidak menyangka ada dua orang di sana. Seketika, tatapan mereka bertemu.
Tepatnya, hampir seluruh tubuh Shen Qiao, termasuk wajahnya, tertutupi oleh Yan Wushi. Hanya Yan Wushi yang perlahan mengangkat kepalanya dari lekukan leher Shen Qiao, lalu dengan santai menoleh untuk menatap pemuda itu.
Pemuda tersebut terkejut dan berseru pelan. Namun, bukannya berpikir, Dua pendeta tao ini benar-benar melakukan hal seperti ini di siang bolong?! yang pertama kali muncul di benaknya justru: Tatapan orang ini begitu menakutkan!
Sorot mata yang tajam dan menembus membuatnya mundur tiga langkah tanpa sadar. Bahkan sebelum sempat mengatakan sepatah kata pun, ia langsung berbalik dan kabur.
Yan Wushi kembali menatap Shen Qiao dan berkata dengan ringan, “Lihat? Kita menang tanpa perlu bertarung.”
Shen Qiao: “…”
Bukan karena ia tidak ingin bicara, tetapi saat ini, ia benar-benar tidak bisa berkata apa-apa.
Yan Wushi juga merasa tempat ini kurang nyaman. Meskipun ada sensasi tersendiri dalam melakukan sesuatu di tempat terbuka, tetap saja tidak mungkin melakukannya hanya dengan bersandar di dinding.
Dia menggendong Shen Qiao seperti seorang putri dan dengan ketukan kakinya, tubuhnya melesat ke udara. Dengan langkah ringan di atas atap rumah seperti berjalan di tanah datar, ia meluncur menuju penginapan terdekat.
Pemilik penginapan belakangan ini cukup resah. Karena pemberontakan Pangeran Shixing, jalan utama digunakan untuk mengangkut perbekalan militer, dan kondisi sepanjang rute menjadi kurang aman. Akibatnya, jumlah pedagang yang datang ke ibu kota berkurang dibanding tahun-tahun sebelumnya, membuat penginapannya yang sudah sepi semakin kehilangan pelanggan.
Ketika Yan Wushi membawa Shen Qiao masuk, pemilik penginapan sedang berdiri di depan pintu dengan tangan terlipat, tenggelam dalam pikirannya.
Tiba-tiba, seolah ada angin sepoi yang melintas, ia belum sempat bereaksi ketika pelayannya di belakang berseru, “Eh? Tuan berdua ingin menginap? Kami punya kamar terbaik. Apakah tuan yang di pelukan Anda itu sedang sakit? Perlukah saya memanggil tabib untuk membantu…?”
Celotehan pelayan itu langsung dipotong oleh Yan Wushi. “Di mana kamar kosong yang paling mewah?”
Barulah pemilik penginapan tersadar dari lamunannya dan segera menyahut, “Ada di lantai dua, masih ada empat kamar kosong. Silakan pilih sesuka hati. Tapi harganya agak mahal, seratus lima puluh keping per malam…”
Nada suaranya terdengar sedikit ragu. Penginapannya memang tidak terlalu besar, tetapi tarifnya cukup tinggi dibanding tempat lain.
Namun, sebelum ia selesai bicara, dadanya tiba-tiba terasa berat. Ia refleks menangkap benda yang dilemparkan padanya, lalu menunduk—ternyata itu adalah sekeping perak yang cukup tebal dan berat.
Jumlahnya cukup untuk menginap selama setengah bulan!
Pemilik penginapan berseri-seri saat mendongak, tetapi Yan Wushi sudah melesat ke lantai dua sambil menggendong Shen Qiao.
Pelayan mendekat dan bertanya, “Jadi, apakah masih perlu memanggil tabib?”
Pemilik penginapan ragu sejenak sebelum menjawab, “Mereka tidak meminta, jadi kita jangan ikut campur. Siapkan air panas, dan buat makanan lalu jaga tetap hangat. Kalau tamu butuh sesuatu, kita bisa langsung menyediakannya!”
Sementara itu, Yan Wushi membawa Shen Qiao masuk ke salah satu kamar utama. Benar saja, ruangan itu jauh lebih luas dibanding kamar biasa. Selain bersih, ranjangnya juga lebih besar daripada ranjang di penginapan kebanyakan. Dilengkapi kasur lembut dan aroma samar kayu cendana, jelas bahwa penginapan ini memang berani mengeluarkan biaya lebih—tidak heran tarifnya cukup mahal.
Namun, setelah semua ini, Shen Qiao akhirnya kembali sadar. Ia menekan dada Yan Wushi, melompat turun, lalu mundur dua langkah sebelum berkata dengan agak canggung, “Menurutku… lebih baik kita sudahi saja…”
Yan Wushi menyeringai dingin. “Kamu menciumku, lalu sekarang mau meninggalkanku begitu saja?”
Shen Qiao: “…”
Sepertinya ungkapan itu tidak digunakan dengan benar.
Ia menarik napas dalam dan berkata dengan lebih tegas, “Sekarang masih terlalu awal…”
Yan Wushi mengangkat alis. “Maksudmu, kalau sudah malam, maka itu tidak masalah?”
Wajah Shen Qiao memerah. Mungkin ia sendiri tidak menyadari bahwa kerah pakaiannya telah sedikit terbuka, memperlihatkan tulang selangka yang kini dihiasi dua tanda merah.
Setengah terlihat dan setengah tidak, samar tetapi menggoda—meski bagian utama pertunjukan belum dimulai, pemandangan ini sudah cukup untuk memancarkan daya tarik luar biasa.
Ada sebagian orang yang bahkan hanya dengan senyum malu-malu saja sudah bisa membuat hati orang lain bergetar tak menentu.
Yan Wushi memang belum sampai pada titik kehilangan kendali, tetapi ia juga tidak berniat menahan diri. Ia membiarkan dirinya menikmati keindahan ini sepuasnya, membiarkan tatapannya mengikuti setiap ekspresi Shen Qiao.
Shen Qiao sendiri tidak tahu bagaimana ia bisa begitu nekat mencium Yan Wushi tadi. Meski dalam hatinya ia sudah membayangkannya berkali-kali, sifatnya yang pendiam biasanya tidak akan pernah membiarkannya bertindak demikian. Sekarang, dengan Yan Wushi semakin menekannya, ia justru merasa ingin kembali menarik diri.
Yan Wushi tentu saja tidak akan membiarkannya begitu saja. Ia langsung mengulurkan tangan untuk menangkap tangan Shen Qiao. Shen Qiao secara refleks menangkisnya, dan keduanya bertukar beberapa jurus. Namun, setelah beberapa serangan tipuan, Yan Wushi tiba-tiba meraih ikat pinggang lawannya dan menariknya ke dalam pelukannya.
Dengan satu tarikan, ikat pinggang itu terlepas.
Shen Qiao jatuh terjerat, tubuhnya ditekan ke atas meja, sementara Yan Wushi menatapnya dari atas.
Dan setelah itu—
Malam panjang dengan lilin merah menyala, ombak hasrat yang bergulung tanpa henti.
“Tu-tuan, suara apa itu dari lantai dua?” Pelayan hanya mendengar beberapa bunyi keras berturut-turut dari atas, lalu semuanya kembali sunyi. “Bukankah tadi yang satu digendong masuk? Kenapa sekarang malah seperti pertarungan? Perlukah kita naik untuk memastikan? Jangan sampai ada yang mati di sana!”
Pemilik penginapan tetap sibuk menghitung tanpa mengangkat kepala. “Para dewa sedang bertarung, jangan ikut campur urusan orang lain!”
Para dewa bertarung? Pelayan menggerutu dalam hati. Lebih mirip iblis yang sedang bertarung!