Penerjemah: Keiyuki
Proofreader: Rusma
Menjadi Anak Kecil Kembali – Bagian Dua
Dalam sekejap, Yan Wushi mendapat tatapan penuh kecaman dari segala penjuru, termasuk dari si penjual permen.
Berwajah tampan dan berpenampilan terhormat, tetapi malah merebut permen anak kecil dan menggigitnya begitu saja. Dalam situasi seperti ini, anak mana yang tidak akan menangis?
Si penjual, yang juga memiliki dua anak di rumah, merasa iba. Ia buru-buru berkata, “Paman akan membuatkan yang baru untukmu, jangan menangis, jangan menangis!”
Mendengar itu, Shen Qiao kecil berhenti menangis. Ia mengusap air matanya dengan lengan baju dan menjawab dengan suara serak, “Terima kasih, Paman, satu saja sudah cukup.”
Lalu, ketika ia kembali melihat “gurunya” yang kehilangan bahu, hidungnya terasa asam. Ia buru-buru menahan air mata agar tidak jatuh, terlihat semakin menyedihkan dan menggemaskan. Tidak hanya para wanita yang hatinya mudah tersentuh, bahkan si penjual sendiri ingin membuatkan beberapa permen lagi hanya untuk melihatnya tersenyum.
Beberapa pejalan kaki yang merasa geram ingin menegur Yan Wushi, tetapi begitu bertemu tatapan dinginnya, mereka terintimidasi. Akhirnya, mereka hanya dapat menahan amarah hingga wajah mereka memerah, tetapi tetap tidak berani bersuara.
Yan Wushi menoleh ke Shen Qiao kecil dan berkata, “Baiklah, tadi aku hanya bercanda. Biar saja orang ini membuatkan yang baru untukmu. Yang cacat ini berikan saja padaku.”
Shen Qiao kecil langsung berkata dengan marah, “Guru tidak cacat! Kamu yang menggigitnya!”
Yan Wushi tertawa, “Tapi kalau kamu terus galak seperti ini, aku akan langsung membawamu pergi dan tidak akan membiarkanmu bertemu Qi Fengge lagi.”
Shen Qiao kecil mengerucutkan bibirnya, hampir menangis, matanya berkaca-kaca. “Guru…”
“Aku mau guru!!!”
Emosi yang sudah lama terpendam akhirnya meledak. Shen Qiao kecil langsung berubah menjadi bocah cengeng, dan kali ini bahkan sepuluh permen pun tidak dapat menenangkannya!
Yan Wushi menggendongnya, sudut bibir dan pelipisnya berkedut. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasakan akibat dari perbuatannya sendiri.
Master Sekte Yan yang biasanya sombong dan bebas, kini benar-benar tidak tahu harus berbuat apa.
Jika yang menangis di pelukannya bukanlah Shen Qiao, ia pasti punya seratus cara untuk membungkamnya. Tetapi dalam pandangannya, Shen Qiao selalu menggemaskan apa pun yang ia lakukan. Hanya saja, cara Yan Wushi menunjukkan kasih sayangnya berbeda dari orang lain. Ia lupa bahwa Shen Qiao kecil dan Shen Qiao dewasa punya perbedaan usia yang besar, dan tanpa sadar ia sudah menggodanya terlalu berlebihan.
Semua orang mengira Shen Qiao berubah menjadi anak kecil dalam semalam. Namun, kenyataannya tidak begitu.
Saat Shen Qiao membuka mata, ia langsung merasa ada yang tidak beres.
Memang benar, di bawahnya masih ada kasur yang empuk, dan di atasnya masih ada balok-balok kayu yang familiar. Namun, di luar jendela, malam tampak gelap pekat dengan bulan purnama menggantung tinggi di langit.
Kegelapan malam itu sendiri bukanlah hal yang aneh. Yang aneh adalah, sebagai seseorang yang berlatih seni bela diri dengan indra yang tajam, mustahil ia bisa tertidur begitu lelap. Bahkan jika tidurnya sangat nyenyak, seharusnya sekarang sudah pagi.
Tanpa perlu menyalakan lilin, Shen Qiao menelusuri sekeliling ruangan dengan bantuan cahaya bulan dan menemukan sesuatu yang lebih aneh lagi: tempat ini memang benar berada di Gunung Xuandu, tetapi kamar ini jelas adalah kamar yang ia tinggali saat masih menjadi murid, bukan kamar yang ia tempati sebelum tertidur!
Perasaan aneh itu semakin kuat, tetapi Shen Qiao bukanlah Shen Qiao kecil. Meski ia terkejut, ada dugaan yang mulai tumbuh di benaknya.
Apakah ini mimpi yang membawanya kembali ke masa lalu?
Ia berpikir demikian sambil bangkit dan berjalan keluar.
Malam begitu sunyi. Shen Qiao menengadah menatap langit, lalu menoleh ke kanan dan kiri.
Begitu melihat sekeliling, ia langsung tertegun.
Ia berdiri tepat di depan sebuah bangunan kecil—bangunan tempat tinggal Qi Fengge beserta murid-muridnya. Setelah menjadi pemimpin sekte, Shen Qiao tidak ingin menempati kediaman Guru-nya, jadi ia memilih tinggal di rumah sebelahnya.
Saat itu, di sekelilingnya gelap gulita, hanya kamar yang dulu ditempati gurunya yang memancarkan cahaya samar.
Nyala lilin bergetar pelan, seolah ada seseorang di dalamnya.
Hati Shen Qiao berdebar kencang. Ia menaiki tangga, melangkah mendekati kamar yang diterangi cahaya lilin itu.
Rasanya seperti mimpi, tetapi ia takut kecewa bahkan dalam mimpinya sendiri.
Ia tidak berusaha menyembunyikan langkahnya, sehingga orang di dalam ruangan segera menyadari keberadaannya.
“Siapa di luar?” Suara itu tenang dan lembut, seakan pemiliknya sedang duduk di bawah cahaya lilin sambil membaca buku—suara yang sudah tak terhitung kali Shen Qiao dengar sebelumnya.
Jantungnya berdetak semakin cepat, matanya terasa panas, dan pandangannya perlahan menjadi buram.
“Siapa itu?” Tidak mendengar jawaban, orang di dalam tampak bingung, akhirnya bangkit dan berjalan ke pintu.
Begitu pintu terbuka, keduanya saling berpandangan.
Wajah yang telah ia kenang ribuan kali kini benar-benar muncul di hadapannya. Shen Qiao terpaku di tempat, bahkan tidak dapat melangkah. Ia menatap pria itu tanpa berkedip, seolah takut sosok di hadapannya akan menghilang jika ia mengalihkan pandangan.
“Kamu…” Qi Fengge terdiam sesaat sebelum bertanya, “Siapa kamu? Ada keperluan apa datang ke Gunung Xuandu?”
Saat itu, Qi Fengge berada di puncak masa jayanya. Rambut hitam legamnya masih sedikit basah, tampaknya baru saja selesai mandi. Wajahnya tidak bisa dibilang luar biasa tampan, hanya bisa disebut gagah dan berwibawa. Namun, pengalaman hidup, kedalaman ilmu, serta ketenangan yang terpancar darinya memberinya daya tarik yang sulit dijelaskan dengan kata-kata. Jika ada seseorang di dunia ini yang mampu membuat orang lain percaya tanpa ragu hanya dengan melihatnya, maka orang itu pasti Qi Fengge.
Shen Qiao masih mengingat dengan jelas saat terakhir kali ia bertemu dengan gurunya, ketika Qi Fengge gagal menembus batas kultivasi dan hampir meninggal dalam meditasi. Saat itu, wajahnya yang telah puluhan tahun tidak berubah mulai menunjukkan tanda-tanda penuaan. Rambutnya mulai beruban, kulitnya kehilangan cahayanya, dan bahkan sorot matanya tampak redup.
Kini, melihat kembali sosok gurunya dalam wujudnya yang masih segar dan penuh vitalitas, Shen Qiao tidak mampu membendung perasaan haru dan kesedihan yang mendadak menyeruak dalam hatinya. Air matanya jatuh tanpa bisa dikendalikan.
“Guru…” Suaranya tersendat. Menyadari dirinya kehilangan kendali, ia buru-buru menundukkan kepala, dengan cepat menyeka air matanya, lalu mengangkat wajah lagi.
“Guru, aku adalah Shen Qiao, Shen Qiao dari dua puluh tahun ke depan. Aku tidak tahu bagaimana bisa kembali ke masa lalu, aku hanya terbangun dan sudah berada di sini. Mungkin ini terdengar mustahil bagimu, tapi aku bersumpah, aku bukan orang yang berniat jahat…”
Qi Fengge menatapnya tenang dan hanya menjawab, “Aku percaya.”
Ucapan Shen Qiao terhenti seketika. Ia menatap Qi Fengge dengan sedikit terkejut.
Qi Fengge tersenyum. “Aku percaya. Meskipun kamu telah… tumbuh dewasa, garis wajahmu tetap sama. Cara bicaramu, langkahmu, dan banyak hal lainnya masih mencerminkan dirimu yang dulu. Bagaimana mungkin aku tidak mengenalimu?”
Selesai berkata, ia mengulurkan tangan dan dengan lembut mengusap puncak kepala Shen Qiao. “Jadi begini rupanya penampilan Ah-Qiao setelah dewasa.”
Kehangatan di atas kepalanya membuat hati Shen Qiao bergetar, rasa haru kembali menyeruak, dan ia hampir saja meneteskan air mata lagi.
Qi Fengge melanjutkan, “Tapi bagaimana bisa terjadi hal seperti ini? Kamu mengatakan bahwa kamu berasal dari dua puluh tahun ke depan, lalu di mana Ah-Qiao yang berusia enam tahun sekarang?”
Tidak heran ia adalah Qi Fengge—sekali lihat saja, ia langsung menangkap inti permasalahan.
Shen Qiao mengerutkan kening. “Murid ini juga tidak tahu. Awalnya aku sedang bermeditasi, entah bagaimana aku tiba-tiba tertidur, lalu saat terbangun, aku sudah kembali ke dua puluh tahun yang lalu.”
Qi Fengge menatapnya dengan minat. “Kalau begitu, dua puluh tahun kemudian, di mana aku berada?”
Shen Qiao terdiam.
Qi Fengge menghela napas pelan. “Jadi, saat itu aku sudah meninggal.”
Shen Qiao berkata dengan suara lirih, “Guru…”
Qi Fengge tertawa kecil. “Kelahiran, penuaan, penyakit, dan kematian adalah hal biasa. Meskipun seorang ahli seni bela diri bisa hidup lebih lama, tetap saja mustahil menyamai langit dalam usia. Ah-Qiao, mengapa kamu bersikap seperti ini? Apakah kamu sudah hidup dua puluh tahun lebih lama, tapi justru semakin sulit menerima kenyataan?”
Shen Qiao menarik napas dalam-dalam. “Murid ini mengerti.”
Qi Fengge bertanya, “Di masa itu, siapa yang menjadi Pemimpin Sekte Gunung Xuandu?”
Shen Qiao menjawab, “Murid ini, Guru.”
Qi Fengge tidak tampak terkejut, malah tersenyum dan mengangguk pelan.
Shen Qiao melanjutkan, “Banyak hal yang terjadi selama itu, sulit untuk dijelaskan dalam waktu singkat. Bolehkah aku menjelaskannya secara rinci?”
Qi Fengge menggeleng. “Tidak perlu. Apa yang sudah terjadi, pasti sudah ditakdirkan. Mengetahuinya pun tidak ada gunanya, malah bisa membawa dampak yang kurang baik.”
Orang biasa, jika memiliki kesempatan mengetahui masa depan, pasti akan dikuasai rasa penasaran. Namun, Shen Qiao tidak heran mendengar jawaban Qi Fengge, karena ia memang selalu menjadi orang yang begitu lapang dada.
Qi Fengge melanjutkan, “Aku tidak tahu berapa lama keanehan ini akan bertahan. Tapi, setelah susah payah bisa melihat Ah-Qiao yang sudah dewasa, mana mungkin aku membiarkan waktu kita terbuang begitu saja? Malam ini kebetulan adalah Festival Lentera. Saudara-saudaramu semua sudah turun gunung untuk merayakannya. Apakah kamu juga ingin turun dan melihat-lihat?”
Shen Qiao tersenyum gembira. “Tentu saja murid ini bersedia!”
Keduanya turun gunung satu di depan, satu di belakang. Qi Fengge menggunakan qinggong, tubuhnya melayang ringan seperti dewa pengembara. Shen Qiao menyadari bahwa dalam mimpi ini, bukan hanya inderanya yang terasa nyata, tetapi bahkan keterampilan seni bela dirinya tidak berkurang sedikit pun. Rasanya sama sekali tidak seperti mimpi.
Begitu Qi Fengge mendarat, ia melihat Shen Qiao sudah berdiri di sisinya dan merasa puas. “Murid melampaui guru, Gunung Xuandu punya penerus yang layak!”
Shen Qiao tersenyum. “Guru terlalu memuji. Kemampuanku masih belum bisa menandingi puncak kekuatan Guru di masa lalu. Tapi, Yan Wushi…”
Begitu ia menyebut nama itu, Shen Qiao mendapati dirinya tidak bisa melanjutkan. Seolah ada kekuatan tak kasatmata yang menghalanginya untuk mengungkapkan peristiwa di masa depan.
Qi Fengge tidak menyadari keanehannya dan hanya menanggapi, “Yan Wushi? Tampaknya dua puluh tahun kemudian kekuatannya telah mencapai ke tingkat lain!”
Shen Qiao tidak bisa menjelaskan lebih jauh, jadi ia hanya mengangguk.
Qi Fengge tidak bertanya lebih lanjut. Matanya beralih ke keramaian di depan mereka—orang-orang berlalu lalang, suara tawa dan canda anak-anak bersahutan. Dengan penuh minat, ia bertanya, “Dua puluh tahun kemudian, apakah Kota Xuandu lebih ramai dari sekarang?”
Di hadapan mereka, lentera memenuhi jalan, warna-warni dan beraneka bentuk, sementara suara riang anak-anak sesekali terdengar. Suasana benar-benar menggambarkan kemeriahan Festival Lampion.
Shen Qiao menatap sekeliling dan berkata, “Sepertinya tidak jauh berbeda.”
Ia kini benar-benar tenang. Tidak bisa mengungkapkan masa depan bukanlah sebuah penyesalan—hanya bisa menghabiskan satu malam bersama gurunya sudah merupakan kejutan terbesar baginya.
Qi Fengge membawanya ke sebuah paviliun tempat orang-orang menebak teka-teki lampion. Ia pun ikut serta, berhasil menjawab satu teka-teki dengan benar, dan memenangkan sebuah lampion berbentuk kelinci. Kemudian, ia menyerahkannya kepada Shen Qiao sambil bercanda, “Tahun lalu, saat kamu turun gunung, kamu juga tertarik pada lampion kelinci ini. Tapi Yuan Chun juga menginginkannya, jadi kamu memberikannya padanya. Tahun ini, kamu tidak turun gunung bersamanya, jadi lampion ini menjadi milikmu.”
Shen Qiao sudah tidak lagi mengingat hal-hal yang terjadi saat ia berusia enam tahun. Namun, perhatian dan kasih sayang tulus dari gurunya membuatnya merasa hangat. Ia tidak dapat melepaskan pandangannya dari lampion kelinci di tangannya.
Cahaya lilin di dalam perut kelinci bersinar samar, membawa kehangatan.
Dua puluh tahun yang lalu, dan dua puluh tahun yang akan datang.
Sosok hidup yang nyata, dan makam yang dingin serta sunyi.
Mata Shen Qiao menjadi basah. Tidak ingin terlihat lemah di hadapan gurunya, ia buru-buru berkedip untuk menahan air matanya, lalu tersenyum. “Terima kasih, Guru.”
Qi Fengge menepuk pundaknya dengan penuh kasih sayang. Ia tidak mengatakan apa-apa, namun seolah telah memahami segalanya.
Setelah melewati gang ini, hiruk-pikuk mulai mereda. Sungai mengalir dengan tenang di depan mereka, membawa banyak lampion yang diletakkan di atas perahu kertas, hanyut dari hulu. Di dalamnya, tersimpan harapan dan impian banyak orang.
Keduanya beristirahat sejenak di bawah pohon. Melihat Shen Qiao terus menggenggam lampion kelinci tanpa melepaskannya, Qi Fengge tersenyum, “Kenapa Ah-Qiao-ku masih seperti anak kecil meskipun dia sudah dewasa?”
Shen Qiao juga tersenyum. “Karena ini adalah hadiah dari Guru.”
Selama ia memegangnya, rasanya seolah gurunya masih ada di sisinya. Ia tidak ingin menganggap ini hanya mimpi. Keberadaan lampion kelinci ini mungkin bisa membuatnya merasa lebih nyata.
Qi Fengge mengambil lampion itu darinya, lalu menggunakan ranting kecil untuk menyesuaikan sumbu lampion agar menyala lebih lama. Setelah itu, ia mengembalikannya kepada Shen Qiao. “Maafkan aku.”
Shen Qiao terkejut. “Kenapa Guru berkata demikian?”
Qi Fengge tersenyum lembut. “Dua puluh tahun kemudian, kamu menjadi pemimpin Gunung Xuandu. Kupikir, saat itu, hanya kamu satu-satunya murid yang layak mengemban tugas itu. Namun, kamu selalu rendah hati dan tidak suka menonjolkan diri. Aku telah memaksamu melakukan sesuatu yang sulit.”
Shen Qiao tersenyum. “Aku adalah murid Gunung Xuandu. Aku berharap tempat ini tetap baik-baik saja. Jika Guru yakin bahwa aku bisa melakukannya, maka aku pasti akan berusaha sekuat tenaga.”
Meskipun awalnya ia menempuh jalan yang berliku dan membayar harga yang begitu mahal, pada akhirnya, ia tetap tidak mengecewakan harapan tersebut.
Keduanya berbincang lama di bawah pohon. Shen Qiao tidak ingat kapan rasa lelah mulai menyergapnya hingga ia tertidur.
Dalam mimpi, ia bersandar di pangkuan Qi Fengge, memeluk lampion kelinci yang sudah padam, dengan senyum masih tersungging di bibirnya.
Sebuah tangan perlahan membelai rambutnya, lembut dan berulang, seperti saat ia masih kecil.
Shen Qiao terbangun karena sinar matahari yang menyengat.
Saat membuka mata, ia melihat cahaya matahari menembus celah-celah dedaunan, menebarkan bercak-bercak hangat di tubuhnya.
Di dekatnya, bersandar pada batang pohon, ada seseorang. Namun, itu bukan Qi Fengge—melainkan Yan Wushi.
Yan Wushi membuka matanya, mengusap pelipisnya, merasa aneh mengapa dengan kemampuan dirinya, ia bisa tertidur tanpa sadar. Tetapi saat melihat Shen Qiao, ia justru terkejut. “Kamu sudah kembali seperti semula?”
Keduanya saling mencocokkan kejadian yang mereka alami, dan Shen Qiao tiba-tiba menyadari bahwa kemungkinan besar ini bukan sekadar mimpi. Ia benar-benar telah bertukar waktu dengan dirinya yang berusia tujuh tahun dan kembali ke masa lalu untuk sementara waktu.
Shen Qiao merasa heran. “Tapi aku ingat, saat berusia tujuh tahun, aku tidak memiliki ingatan tentang kejadian ini.”
Yan Wushi berkata, “Mungkin karena itu adalah masa lalu, jadi dirimu yang berusia tujuh tahun secara alami melupakannya.”
Setelah berpikir sejenak, sepertinya hanya itu satu-satunya penjelasan yang masuk akal.
Tiba-tiba, Yan Wushi membungkuk dan mencondongkan tubuhnya ke arah Shen Qiao, hampir menindihnya. Ia mengulurkan tangan ke belakang Shen Qiao dan mengambil sesuatu.
Shen Qiao menatap benda itu—ternyata itu adalah lampion kelinci.