Penerjemah: Keiyuki
Proofreader: Rusma
Cerita Sampingan Bagian Satu
Di balik layar pembatas, terdapat sebuah dipan.
Di atas dipan itu, terbaring seorang pria rupawan.
Lebih tepatnya, pria itu terpejam dalam tidur lelap, sementara di sampingnya duduk seseorang yang tengah mengamatinya.
Yan Wushi menatapnya cukup lama, lalu mengulurkan tangan dan dengan lembut menyentuh bulu matanya.
Shen Qiao refleks mengerjap sedikit, kemudian mengerutkan alis.
Jarang sekali ia bisa tidur sedalam ini. Biasanya, jangankan disentuh, sedikit saja ada suara di sekitarnya, Shen Qiao pasti langsung terbangun.
Satu-satunya alasan yang masuk akal adalah—ia benar-benar terlalu lelah.
Di sudut bibir Yan Wushi, tersungging senyum tipis, tampak santai dan puas.
Jika ada orang lain yang melihatnya saat ini, mereka pasti akan terkejut dan merinding, sebab senyuman itu terlalu lembut—sangat lembut hingga seolah tak pantas muncul di wajahnya.
Bahkan mungkin Yan Wushi sendiri pun tidak menyadari bahwa ia sedang tersenyum seperti itu.
Jari-jarinya berpindah dari bulu mata ke antara alis, lalu perlahan-lahan meluncur turun hingga ke ujung hidung. Ia tampak berniat mencubit hidung pria itu, tetapi sebelum benar-benar melakukannya, sepertinya ia berubah pikiran.
Sebagai gantinya, ia justru mencubit bibir Shen Qiao, menekannya hingga menyatu, membuat wajah tampannya yang terlelap berubah menjadi sedikit konyol—bibirnya kini tampak seperti paruh bebek.
Shen Qiao sendiri tidak menyadari apa pun. Mungkin karena terlalu percaya pada orang di sampingnya, ia tetap tertidur dengan nyenyak.
Akhirnya, Master Sekte Yan pun menyadari betapa kekanak-kanakan tindakannya. Ia mendecak pelan, lalu melepaskan cubitannya. Namun, alih-alih berhenti, ia malah menunduk dan mengecup bibir pria itu.
Dari sudut matanya, ia menangkap pemandangan samar-samar—bintik-bintik kebiruan menghiasi leher dan bahu Shen Qiao. Sudut bibirnya melengkung sedikit, kemudian ia menarik selimut lebih tinggi, menyelubungi tubuh pria itu hingga ke leher.
Tiba-tiba, suara ketukan terdengar dari luar.
Yan Wushi bangkit dari tempat tidur dan berjalan menuju pintu.
Ia tidak tampak canggung sedikit pun, tetapi pelayan di luar justru langsung memerah begitu melihatnya keluar dengan rambut berantakan dan jubah yang hanya dikenakan seadanya.
“Selamat pagi, Tuan,” ucap pelayan itu sedikit gugup. “Dapur baru saja memanaskan makanan. Pemilik penginapan menyuruh saya naik untuk menanyakan apakah kalian berdua memerlukan sesuatu.”
Sambil berbicara, pelayan itu diam-diam mengintip ke dalam kamar. Beberapa jam sebelumnya, mereka mendengar suara gaduh dari lantai bawah, tetapi tidak berani naik untuk bertanya. Sekarang, tentu saja, ia ingin memastikan apakah ada barang yang rusak.
Awalnya, Yan Wushi berniat menolak, tetapi kemudian ia berubah pikiran. “Ada makanan apa saja?”
Pelayan itu tersenyum. “Kami punya roti panggang, ayam panggang, daging bebek bakar, okra, dan lainnya. Masakan di penginapan kami cukup terkenal di daerah ini. Apa pun yang Anda pesan, pasti tersedia.”
Yan Wushi berkata, “Kalau begitu, bawakan bubur susu dengan barley, kaki babi rebus dengan bawang putih—pastikan kaki babinya dimasak hingga empuk, dan jangan pelit dengan sausnya. Aku tentu akan membayar dengan baik. Juga, siapkan satu ekor ikan segar, tidak perlu hidangan yang rumit, cukup dikukus dengan bawang merah dan bawang putih. Sisanya, tambahkan beberapa hidangan sayur sesuai pilihanmu.”
Sebuah kantong sutra melayang ke dalam pelukan pelayan itu, terasa berat—kemungkinan berisi potongan perak.
Pelayan itu terkejut melihat betapa lancarnya pria itu menyebutkan pesanan panjang tanpa ragu sedikit pun. Dalam hati, ia mengagumi selera makannya dan berpikir, Pasti orang kaya dari keluarga terpandang. Dengan sekali pesanan ini, penginapan mereka bisa mendapatkan penghasilan setara tiga hingga lima hari.
“Ada, tentu saja ada! Semua yang Tuan minta, penginapan kami mempunyainya. Saya akan segera menyiapkannya. Silakan tunggu sebentar, saya juga akan mengantarkan air panas terlebih dahulu!” ujar pelayan itu dengan penuh semangat.
Yan Wushi kemudian memintanya pergi ke kedai buku untuk membeli beberapa gulungan buku bacaan santai. Dengan imbalan yang besar, pelayan itu tentu tidak menolak dan segera menjalankan semua permintaan tersebut.
Shen Qiao terbangun karena aroma makanan yang menggugah selera. Begitu membuka matanya, ia langsung merasakan perutnya kosong dan keroncongan.
Sudah lama sekali sejak ia merasa lapar seperti ini, sampai-sampai ia sedikit bingung dan tidak terbiasa.
Ia berkedip beberapa kali, lalu perlahan mengamati sekeliling ruangan. Dari hidangan yang tersaji di atas meja di balik layar pembatas hingga sosok seseorang yang sedang membaca di samping meja. Dalam hitungan detik, kesadarannya pulih sepenuhnya dari kantuknya.
Meskipun terhalang oleh layar pembatas, Yan Wushi tetap bisa menangkap pergerakan Shen Qiao.
“Kamu sudah bangun, Ah-Qiao?”
Yan Wushi meletakkan bukunya, lalu bangkit dan berjalan mengitari layar pembatas. Dalam hatinya, ia sedikit menyesal karena terlambat sedetik, sehingga melewatkan momen ketika Shen Qiao baru terbangun.
Namun, pada detik berikutnya, Shen Qiao langsung menarik selimut dan membenamkan seluruh tubuhnya ke dalamnya.
Selimut itu pun menggelembung tinggi membentuk sebuah gundukan besar.
Yan Wushi: “……”
Begitu melihat pergerakan selimut, ia segera menyadari bahwa Shen Qiao sedang mengenakan pakaiannya di dalamnya.
Yan Wushi hampir tertawa terbahak-bahak, tetapi wajahnya tetap berpura-pura tenang. Dengan nada khawatir, ia bertanya, “Kamu tidak apa-apa?”
Suara Shen Qiao terdengar samar dari dalam selimut, “Aku baik-baik saja…”
Yan Wushi melangkah lebih dekat dan menekan bagian atas selimut, “Ah-Qiao, apakah kamu terluka? Biarkan aku melihatnya.”
Shen Qiao: “Aku baik-baik saja…”
Selimut itu bergerak dengan heboh. Yan Wushi menebak bahwa Shen Qiao sedang mencari celananya. Dengan senyum jahil, ia berkata, “Ah-Qiao, aku lupa memberitahumu.”
Shen Qiao: “Hmm?”
Yan Wushi: “Celana bagian dalammu sudah kotor sejak tadi malam. Aku menyuruh pelayan pergi membelikan yang baru, tapi dia belum kembali.”
Selimut tiba-tiba tersibak, memperlihatkan wajah Shen Qiao yang sedikit memerah. “Bagaimana bisa kamu menyuruh orang luar membelikannya?”
Yan Wushi: “Kalau begitu, apakah aku yang harus pergi membelinya sendiri?”
Shen Qiao memijit keningnya, sedikit terbata-bata. “Bukan itu maksudku… Kamu… Bagaimana dia tahu ukuranku…?”
Yan Wushi tersenyum santai. “Tentu saja aku yang memberitahunya.”
Shen Qiao tidak melanjutkan pertanyaannya.
Sudah dapat ditebak, pasti Yan Wushi mengukurnya dengan tangan tadi malam.
Begitu mengingat kekacauan yang terjadi semalam, Shen Qiao merasa ingin menghilang ditelan bumi.
Bahkan saat ini, ketika ia bersembunyi di balik selimut, aroma samar yang menguar masih mengingatkannya pada kejadian semalam.
Ia berdeham ringan, canggung tetapi tidak bisa diam saja. “Master Sekte Yan…”
Yan Wushi langsung memotong, alisnya berkerut tidak senang. “Setelah kita sedekat ini, kamu masih memanggilku ‘Master Sekte Yan’?”
Shen Qiao ragu-ragu bertanya, “Lalu aku harus memanggilmu apa?”
Yan Wushi: “Yan-lang, tentu saja. Tadi malam kamu memanggilku dengan sebutan itu berkali-kali, bahkan sambil menangis!”
Wajah Shen Qiao memerah seketika. “Jangan bicarakan itu lagi!”
Yan Wushi menghela napas dan duduk di tepi dipan. “Kita sudah begitu dekat. Jika kamu seorang wanita, aku pasti akan meminta restu keluargamu untuk menikahimu dengan resmi. Sayangnya, kamu bukan…”
“Tunggu sebentar!” Shen Qiao merasa ada yang aneh. “Kenapa justru kamu yang menikahiku?”
Yan Wushi mengangkat alis. “Kecuali kamu yang ingin menikahku?”
Shen Qiao: “Tentu saja tidak…”
Yan Wushi: “Aku menyukaimu, tidak peduli soal wajah atau reputasi. Jika kamu bersedia menikahiku, aku tidak keberatan, supaya orang-orang tidak seenaknya berkomentar tentangmu sebagai Pemimpin Sekte Xuandu. Sedangkan aku, namaku sudah buruk sejak awal. Demi dirimu, sedikit pun aku tidak merasa dirugikan.”
Perkataannya terdengar arogan, tetapi entah kenapa juga terasa sedikit… menyedihkan.
Shen Qiao tidak tahu harus tertawa atau menangis. “Bukan itu maksudku.”
Yan Wushi: “Lalu, kamu mau bertanggung jawab atau tidak?”
Shen Qiao tidak dapat berkata-kata.
Peristiwa tadi malam, bagaimanapun juga, adalah kesepakatan kedua belah pihak. Dengan sifat Shen Qiao yang jujur, mustahil baginya untuk melemparkan seluruh tanggung jawab kepada orang lain. Yan Wushi justru memanfaatkan hal ini, dengan sabar memancingnya selangkah demi selangkah, hingga akhirnya Shen Qiao sendiri rela melompat ke dalam jebakan yang telah disiapkan.
Benar saja, Shen Qiao mengerutkan alis, berpikir lama, lalu dengan susah payah mengucapkan beberapa patah kata, “Aku akan bertanggung jawab…”
Yan Wushi tersenyum samar, lalu mencondongkan tubuh untuk mencium pipinya.
“Shen-lang.”
Tubuh Shen Qiao sedikit bergetar. “…”
Yan Wushi berkata lembut, “Shen-lang, kamu belum mengenakan celana dalam. Tidakkah kamu kedinginan?”
Wajah Shen Qiao langsung memerah. Ia memeluk selimut erat-erat, tidak mau melepaskannya.
Saat itu juga, pelayan yang ditugaskan membeli celana dalam telah kembali. Ia mengetuk pintu, dan Yan Wushi berjalan ke arahnya, mengambil barang yang dibeli.
“Shen-lang, bagaimana kalau aku yang membantumu mengenakannya?”
Shen Qiao tidak tahan lagi. “Lebih baik kamu panggil aku Ah-Qiao saja!”
Yan Wushi memasang ekspresi pasrah. “Kamu sendiri tidak mau memanggilku Yan-lang, tapi juga tidak membiarkanku menikmati panggilan ini sedikit pun?”
Shen Qiao menolak terus bermain kata-kata dengannya. Ia langsung merebut celana dalam itu, lalu kembali masuk ke bawah selimut untuk mengenakannya. Setelah selesai, barulah ia menyingkap selimut, turun dari dipan, dan bersiap mengikat tali celana.
Namun, begitu melihatnya, Yan Wushi tidak bisa menahan tawa keras. “Sayangku Ah-Qiao, kamu memakainya terbalik!”
Shen Qiao: “…”
Wajahnya sudah merah seperti udang yang matang!