Penerjemah: San
Proofreader: Keiyuki, Rusma
Pada tanggal 11 Juli, bahkan sebelum alarm berbunyi, anak itu meniup terompet sehingga terdengar seperti suara tembakan.
“Kak! Kak!”
“Se-la-mat ulang tahun!”
Tahun lalu, Jiang Wang terlempar dari tempat tidur seperti dia terjebak dalam insiden penembakan. Tahun ini, dia sudah bisa membungkus dirinya erat-erat dengan selimut, mencoba untuk tidur lebih lama.
Peng Xingwang tidak dapat menemukan mahkota kertas yang dibuatnya tahun lalu. Tahun ini, dia sengaja membeli karton merah di toko buku untuk membuat dua mahkota baru. Satu dipakai di kepalanya, sementara satu lagi akan dikenakan pada kakaknya.
Namun, kakaknya hanya berbaring sambil berpura-pura mati.
Peng Xingwang memutuskan untuk meletakkan mahkota itu di wajah kakaknya.
Jiang Wang hanya mendesah pelan dengan mahkota di wajahnya, lalu akhirnya bangkit perlahan-lahan, menguap sambil berkata, “Nak, kita ini sedang merayakan ulang tahun, bukan Imlek.”
Anak itu sepertinya sudah menganggap kebiasaan ini sebagai tradisi. Sama seperti tahun lalu, dia menyerahkan sebuah kartu ucapan beraroma parfum. Ketika dibuka, di dalamnya ada gambar 29 bintang kecil.
“Ada… ada hadiah lain juga,” kata Peng Xingwang sambil malu-malu. Ia mengeluarkan sebuah benda kecil dengan tali panjang dari sakunya.
Jiang Wang tidak melihatnya dengan jelas pada pandangan pertama, tapi saat menerimanya di tangannya, dia terkejut.
“Jimat? Kapan kamu pergi ke kuil?”
Apakah Linqiu diam-diam membawanya ke sana?
Anak itu menggeliat.
“Sebenarnya… tidak pernah.”
Jiang Wang bingung. Dia membuka kantong kain kecil itu di hadapan anak itu dan mengeluarkan selembar kertas kuning yang dilipat di dalamnya.
Setelah membukanya sedikit demi sedikit, terlihat simbol yang ditulis dengan tulisan tangan anak yang goyah.
“Damai setiap hari.”
Jelas bahwa Peng Xingwang sedang mencoba meniru jimat yang pernah diberikan ayahnya. Namun, gambarnya tidak sama, jadi dia hanya menuliskan kata-kata itu dengan bentuk melingkar untuk meniru tulisan mantra Tao.
Dibandingkan tahun lalu, ini adalah kemajuan besar. Selain itu, tidak ada satu pun huruf pinyin yang tertulis.
Jiang Wang bahkan sedikit merasa terharu.
Tulisan tangan anak itu sudah berkembang pesat. Dari yang awalnya seperti “kuda terpotong lima” kini sudah menjadi “anjing terpotong tiga.”
Tahun lalu, Jiang Wang tidak memberikan hadiah untuk anak itu, hanya mengajaknya makan kue cokelat besar sebagai tanda perhatian. Selain itu, ia juga akhirnya mengizinkan Xingwang memanggilnya “kakak,” sebuah panggilan yang benar-benar menunjukkan kedekatan keluarga.
Tahun ini, dia berdiskusi dengan Ji Linqiu untuk menemukan hadiah yang lebih baik.
“Ayo, lepas mantel selimutmu itu dan ganti pakaian baru. Kita akan pergi keluar.”
Anak itu tertegun. “Kita akan pergi ke mana hari ini?”
“Ada sesuatu yang sangat penting.”
“Hal penting? Bahkan harus berganti ke baju baru?” Peng Xingwang menarik napas panjang. “Kakak, apa kamu mau mengajak pacarmu makan bersama kita?”
Jiang Wang mengerutkan kening. “Apa aku seperti orang yang serendah itu?”
“Kalau begitu, apakah guru Ji akhirnya punya pacar?”
“Apa maksudmu dengan akhirnya?” Ji Linqiu masuk ke kamar. “Ganti baju, cepat.”
Peng Xingwang masih tidak mengerti apakah itu benar atau tidak, tapi dengan perasaan waswas, dia berjalan menuju kamar. Namun, dia langsung dihentikan oleh guru Ji yang menyerahkan pakaian lain.
“Pakai yang ini.”
Ternyata pakaian itu adalah setelan jas kecil bermotif houndstooth1https://en.wikipedia.org/wiki/Houndstooth merah bata.
Melihat setelan baru yang bahkan dilengkapi dasi kupu-kupu, anak itu akhirnya merasa seperti mendapatkan perlakuan istimewa ala Detektif Conan.
—Dasi kupu-kupu!
Dua orang dewasa lainnya juga mengenakan setelan jas kasual. Jiang Wang dengan warna biru tua favoritnya, sementara Ji Linqiu mengenakan jas coklat susu.
Meski jas mereka berbeda gaya, saat mereka berjalan berdampingan, aura aristokrat yang serasi langsung terpancar.
Peng Xingwang berjalan di depan mereka, tiba-tiba merasa bahwa meskipun harus bertemu pacar guru Ji, itu tidak akan jadi masalah.
Hari ini aku sangat tampan!
Mobil mereka berhenti di area komersial yang ramai, tapi pintu mobil belum langsung dibuka.
“Sebelum kita turun, aku dan kakakmu Jiang Wang masing-masing punya surat untukmu,” kata Ji Linqiu dengan lembut. “Setelah kamu membacanya, kita baru dapat turun.”
Wajah anak itu langsung memerah, merasa tidak nyaman. “Ini hanya hari ulang tahun, tidak perlu menulis surat.”
Dia bahkan hampir tidak berani menerimanya, khawatir kata-kata dalam surat itu terlalu menyentuh, hingga ia tidak bisa menahan tangis.
Jiang Wang diam saja, dan bersama Ji Linqiu, dia menyerahkan surat yang sudah disiapkan.
Surat pertama dihiasi pita merah, dan pengirimnya adalah Ji Linqiu, bukan “guru Ji.”
Untuk Xingxing:
Selamat ulang tahun yang ke-9.
Sekarang aku sudah mengundurkan diri dari Sekolah Dasar Hongshan. Kamu boleh memanggilku Kakak Linqiu.
Sebelumnya aku tidak pernah menulis surat untuk siapa pun. Kamu adalah yang pertama. Memikirkan hal itu, aku benar-benar sangat menyayangimu.
Setelah bertemu denganmu, aku merasa sangat bahagia. Bayangkan, ada seorang murid yang diam-diam menggambar beruang kecil di buku tugas untukku, dan sangat serius mendengarkan pelajaran serta mengerjakan tugas. Begitu manis.
Saat tinggal bersama, aku menemukan bahwa kamu sangat patuh dan pengertian. Bahkan sejak kecil sudah bisa mengerjakan pekerjaan rumah.
Kalau dibandingkan, guru ini malah terlihat malas. Dulu aku sering menunda mencuci piring. 🙁
Aku sangat bersyukur bisa bertemu denganmu. Kita bisa pergi naik roller coaster bersama, atau berpetualang ke pedesaan.
Xingwang, tumbuhlah perlahan. Di sepanjang perjalanan, pemandangannya sangat indah. Tidak perlu terburu-buru menjadi dewasa.
Yang menyayangimu,
Kakak Linqiu.
Peng Xingwang membaca surat itu dengan mata yang memerah, berusaha menahan air matanya agar tidak tumpah.
Ada beberapa kata yang tidak ia mengerti, tapi dengan membaca konteksnya, dia bisa menebak artinya. Semakin ia membaca, semakin ia ingin menangis sejadi-jadinya, tapi ia hanya mengusap matanya dengan punggung tangan.
Jiang Wang merasa sedikit cemburu, mendorong suratnya ke depan. “Baca punyaku juga.”
Peng Xingwang dengan cepat mengambil surat itu dan membukanya dengan hati-hati.
Tulisan Ji Linqiu tampak rapi dan anggun, seperti ranting willow di awal musim semi.
Sedangkan tulisan Jiang Wang terlihat tegas dan penuh gaya, seperti pohon pinus yang kokoh di musim dingin.
“Tulisan Kakak Wang juga bagus,” kata anak itu dengan nada iri sekaligus frustrasi. “Kenapa tulisanku jelek sekali?”
Jiang Wang mencoba menghiburnya. “Kamu tahu, tulisan mencerminkan orangnya. Saat kamu sudah dewasa nanti…”
“Kakak, apa kamu sedang mengatakan kalau aku sekarang jelek?”
“… Mungkin saja.”
“Kakak!!”
Surat itu berbunyi:
Peng Xingwang,
Selamat ulang tahun.
Linqiu menyuruhku menulis sesuatu, rasanya sedikit canggung.
Bagaimanapun, sebelum bertemu denganmu, hidupku hanya biasa-biasa saja. Hari-hari berlalu tanpa banyak makna.
Bukan tidak mungkin jika suatu hari nanti aku akan meninggal sendirian di rumah, mengingat pola makan dan gaya hidupku yang berantakan.
Tapi anehnya, setelah membawamu pulang, aku mulai hidup lebih teratur. Aku makan dengan benar, tidur tepat waktu, dan bangun pagi untuk mengantarmu sekolah.
Melihatmu melompat-lompat di sana, suasana hatiku jadi membaik.
Cukup sekian. Semoga kamu akan terus melompat-lompat beberapa tahun lagi. Semangat.
Dari, Kakak Besarmu.
Saat Peng Xingwang membaca surat itu dengan serius, Jiang Wang diam-diam melirik surat Ji Linqiu dan terkesan dengan isinya. Ia berpikir surat itu begitu elegan, hampir ingin mengambil kembali suratnya sendiri.
Namun, yang tak terduga, anak itu juga menangis saat membaca surat dari Jiang Wang. Ia menangis keras-keras sambil memeluk kedua pria dewasa itu, berteriak, “Kakak, aku sayang kalian!”
“Tahan air mata dan ingusmu! Ini baju baru!” Jiang Wang protes.
“Kakak, huuu—!!”
Akhirnya, mereka harus menghabiskan beberapa menit di dalam mobil untuk membersihkan wajah anak itu sebelum keluar.
Baru saat itu Peng Xingwang sadar bahwa mereka sedang membawanya ke studio foto.
“Apakah hari ini kita akan…”
“Foto keluarga,” Ji Linqiu menjawab sambil tersenyum. “Kita bertiga akan berfoto bersama, lalu mencetaknya dan menggantungnya di ruang tamu. Bagaimana menurutmu?”
Peng Xingwang menutupi wajah dengan kedua tangan, merasa gugup. “Aku baru saja menangis. Wajahku pasti jelek…”
“Tidak jelek,” Jiang Wang berkata sambil menggendongnya. “Kakak salah. Mulai sekarang aku tidak akan bilang kamu jelek. Kamu sangat tampan.”
Untungnya, seorang penata rias wanita di studio berhasil membujuk Peng Xingwang dengan kata-kata manis, membuatnya tersenyum lagi.
Studio foto itu terkenal dengan reputasinya yang baik. Pencahayaannya sempurna, gayanya tepat, dan riasannya terlihat alami di kamera. Lingkaran hitam di bawah mata, janggut, dan alis yang berantakan semuanya disulap menjadi sempurna.
Sementara itu, anak itu dengan patuh duduk, membiarkan penata rias merias pipinya dengan perona. Beberapa penata rias lainnya berkumpul di sekitar Ji Linqiu.
“Kakak, kamu sangat tampan, dan kulitmu luar biasa bagus… aku iri sekali.”
“Ya ampun, apakah kamu bahkan tidak punya pori-pori? Kulitmu halus seperti porselen putih. Apa kamu memakai produk perawatan kulit?”
Jiang Wang terbatuk pelan, menyela mereka. “Apakah sudah selesai?”
Ketiganya duduk di depan latar belakang foto, mencoba berpose formal.
Namun, fotografer kurang puas. “Terlalu kaku. Jangan berpura-pura tersenyum. Cobalah santai.”
Lampu sorot besar menerangi wajah mereka, membuat Peng Xingwang merasa canggung hingga otot wajahnya kaku. Ia tanpa sadar mengusap wajahnya dengan tangan.
“Bayangkan sesuatu yang menyenangkan. Lihat ke sini. Tiga, dua, satu!”
Namun hasilnya tetap terlihat seperti tiga patung dengan senyuman kaku.
Fotografer berpikir sejenak. “Aku akan cari cara lain. Kalian istirahat terlebih dulu.”
Ketiganya langsung rileks, bersiap mengubah pose.
“Eh, di kepala Xingwang ada kucing!”
“Kucing?”
“Hah?”
“Apa?!”
Klik!
Jiang Wang dan Ji Linqiu spontan melihat ke arah anak itu, sementara Peng Xingwang sedikit mengangkat wajahnya. Ketiganya masih membawa senyum alami, yang langsung tertangkap kamera dengan sempurna.
“Luar biasa!” seru fotografer. “Foto ini tidak perlu diedit lagi!”
Foto keluarga itu dicetak hari itu juga, dipasang dalam bingkai indah, lalu digantung di dinding tengah ruang tamu.
Peng Xingwang memandangi foto itu lama sekali. Ketika kedua kakaknya pergi mandi dan berganti pakaian, ia diam-diam mencium sudut foto itu.
Ia sangat menyukai foto tersebut. Melihatnya membuatnya merasa seolah-olah sedang dipeluk.
Sepanjang hari itu, ia tidak bisa lepas dari kedua surat yang diterimanya. Setelah pulang, ia membuka kotak kayu barunya dan dengan hati-hati meletakkan surat-surat itu bersama surat dari ibunya.
Anak itu menyentuh setiap surat dengan lembut, seolah-olah dadanya berubah menjadi sebuah buku, di mana setiap halaman berisi kata-kata cinta untuknya.
Ia lalu mengunci kotak itu dengan hati-hati, takut surat-surat itu akan tumbuh sayap dan terbang pergi.
Hari itu terasa istimewa. Pagi harinya, Peng Jiahui menelepon untuk memberi ucapan selamat ulang tahun, dan di sore hari, Du Wenjuan juga menelepon, bahkan menyanyikan lagu ulang tahun melalui telepon.
Peng Xingwang mengingat bagaimana ulang tahunnya dulu.
Saat itu, anak-anak lain biasanya mengadakan pesta ulang tahun yang dihadiri teman-teman terdekat. Ia pernah menghadiri pesta ulang tahun Yang Kai dua kali—sekali di restoran cepat saji, dan sekali lagi di rumah Yang Kai.
Namun, ketika gilirannya tiba, ia tidak berharap banyak. Ia hanya ingin ibunya pulang untuk menemuinya, atau ayahnya memberikan kue kecil untuknya.
Jika Peng Jiahui tidak sedang mabuk, ia kadang mengucapkan selamat ulang tahun, tapi sering kali salah tanggal, seolah-olah semuanya hanya setengah hati.
Ibunya tidak pernah menelepon, seolah-olah ia tidak ada, menolak muncul dalam hidupnya.
Ketika mengenang kesedihan di masa lalu, Peng Xingwang berbaring di tempat tidur dan mulai merasa bahwa semua ini seperti mimpi yang tidak nyata.
Dalam mimpinya, ada begitu banyak orang yang mengatakan mereka mencintainya, bahkan bersyukur ia hadir di dunia mereka, memberikan mereka kesempatan untuk mencintainya.
Jika ini memang mimpi, ia berharap tidak akan pernah bangun selamanya.