Penerjemah: San
Proofreader: Keiyuki, Rusma


“Jiang Wang, kenapa kamu memiliki mantel yang diberikan ibuku?”

“Jiang Wang, kartu identitasmu itu… bagaimana ceritanya?”

Ji Linqiu mengulurkan tangan untuk menyentuh punggung pria itu, tapi yang ia sentuh hanyalah jaket kulit yang tergantung di kursi.

Punggungnya terasa dingin, napasnya jadi tak terkendali. Ia bergegas keluar ruangan mencari orang lain.

“Xingwang, Xingwang, kamu melihat Kakak Wang?”

Anak kecil itu menunjukkan ekspresi terkejut. “Siapa itu Kakak Wang?”

Ji Linqiu mulai panik. “Jiang Wang, paman dari pihak ibumu, bagaimana mungkin kamu melupakannya?!”

Peng Xingwang memegang balok mainan di tangannya, sementara kastil kecil di belakangnya runtuh dengan suara gemeretak.

“Aku… aku tidak mengenalnya.”

Ji Linqiu menatap anak itu sebentar lalu kembali berlari ke luar, merasa seluruh dunia di sekitarnya menjadi buram.

Dia menerobos masuk ke kantor Buwang Cultural Co. Ltd, bertanya kepada setiap kolega apakah ada yang melihat Jiang Wang.

Dia masuk ke ruang rapat, ke kantor pribadi Jiang Wang, ke setiap tempat yang mungkin.

“Kalian melihat Jiang Wang tidak?!”

“… Siapa Jiang Wang?”

“Apakah ada orang seperti itu?”

Wajah semua orang terlihat bingung, seolah-olah dia kehilangan akal.

“Dari awal sampai akhir, bukankah hanya ada kamu sendirian?”

Ji Linqiu tiba-tiba terbangun, punggungnya basah oleh keringat dingin, suara detak jantungnya hampir memekakkan telinga.

Itu mimpi.

Semuanya mimpi.

Ia bernapas dengan berat, menutupi dahinya dengan tangan, mencoba menenangkan diri.

Mungkin karena terlalu banyak membaca mitologi Yunani atau cerita lain, alam bawah sadarnya selalu khawatir bahwa jika ia menanyakan sesuatu, orang yang dicintainya akan menghilang tanpa jejak.

Tidak, ia sama sekali tidak bisa tenang.

Ji Linqiu akhirnya membawa selimut dan bantalnya, berjalan ke pintu lain untuk mengetuk.

Sebelum mengetuk, dia sempat melihat jam.

04:31.

Dia menarik napas dalam-dalam dan mengetuk ringan dua kali.

Tok tok.

Jika orang di dalam sedang tidur nyenyak, ia tak ingin mengetuk terlalu keras, takut mengganggu mimpinya.

Belum sempat Ji Linqiu mengusir kegelisahan dalam hatinya, pintu sudah terbuka.

Pria itu belum sepenuhnya terbangun, aroma kayu hitam samar tercium saat pintu terbuka, dan suaranya sedikit serak.

“Kenapa kamu terbangun?”

Malam sangat larut, Jiang Wang tidak menyalakan lampu, ruangan besar itu seperti sarang binatang buas.

Ji Linqiu melirik ke dalam, masih memeluk erat selimut, enggan mundur.

“Aku bermimpi buruk.” Ia tidak sadar bahwa ujung suaranya terdengar lembut, tanpa disadari bertingkah manja. “Boleh aku tidur di sini? Hanya malam ini.”

Pria itu tidak menggoda seperti biasanya, melainkan terdiam sejenak. Ia mengulurkan tangan menyentuh dahi Ji Linqiu, lalu menggandengnya masuk, suaranya terdengar penuh perhatian.

“Kenapa kamu bisa mengalami mimpi buruk?”

Ji Linqiu tidak menyangka Jiang Wang akan begitu peduli padanya.

Dalam gelap malam, ia menyerahkan dirinya begitu saja, sebuah tindakan yang mudah disalahartikan oleh siapa pun.

“Aku…” Ia ingin menjelaskan, tapi takut mimpi buruk itu menjadi kenyataan.

Ia digandeng Jiang Wang, suhu tubuh dan sentuhannya terasa nyata, membuatnya merasa tenang.

Jiang Wang yang tadinya tidur dengan posisi berantakan di tempat tidur kini merapikan seprai dan menyusun selimut lagi, mencoba membuatnya lebih nyaman.

Sisi tempat tidur yang berada di dekat dinding diberikan kepada Ji Linqiu, agar ia merasa lebih aman.

Jiang Wang sendiri tidur di sisi luar, dengan gerakan pelan, dia menyalakan lampu tidur.

“Aku ingat, kamu suka tidur di bantal yang keras. Mau aku ambilkan?”

Ji Linqiu membenamkan wajahnya di selimut, akhirnya merasa malu.

“Tidak perlu, tidurlah.”

“Kalau begitu… apa lampu tidur perlu dimatikan?”

“Iya, matikan saja.”

Pria itu merosot ke bawah selimut, mendekat dengan napas yang sengaja ia ringankan.

Seolah-olah pertama kali menenangkan seseorang, ia merangkul punggung Ji Linqiu dengan hati-hati, menepuk pelan.

Ji Linqiu langsung membenamkan wajah ke dadanya, tubuhnya sedikit gemetar.

Ia ingat dirinya dulu tidak seperti ini.

Dulu… sepertinya ia sudah menerima kenyataan bahwa ia bisa kehilangan apa pun kapan saja.

Namun sekarang, ia tidak bisa menerimanya lagi.

Jika Jiang Wang benar-benar menghilang suatu hari nanti, ia akan langsung kehilangan akal.

Ia bahkan tidak tahu bahwa dirinya bisa begitu mencintai seseorang.

Jiang Wang, tanpa mengetahui apa yang mengganggu Ji Linqiu, hanya mengusap punggungnya, memastikan melalui napas bahwa Ji Linqiu mulai merasa lebih tenang.

“Aku… bermimpi buruk.”

Ji Linqiu membenamkan kepalanya lebih dalam.

“Aku bermimpi, aku bertanya hal-hal yang seharusnya tidak kutanyakan, lalu kamu menghilang.”

“Di seluruh dunia, tidak ada seorang pun yang mengenalmu, seolah-olah kamu tidak pernah ada.”

Jiang Wang menyadari bahwa Ji Linqiu menggenggam erat pergelangan tangannya. Ia menunduk, mencium dahi Ji Linqiu. “Bagaimana mungkin aku tega melakukan itu.”

“Aku tidak akan bertanya lagi.” Ji Linqiu menggelengkan kepala, suaranya terdengar teredam. “Aku lebih baik tidak bertanya selamanya.”

Jiang Wang menyadari sesuatu. Ia ingin menjelaskan, tapi merasakan basah di dadanya.

Kamu… menangis?

Kamu menangis karena memimpikan aku mungkin menghilang?

Pria itu bingung dan canggung, ingin mengatakan semuanya, tapi hanya bisa dengan gugup menenangkan dan mencium Ji Linqiu, meyakinkannya bahwa semuanya hanyalah mimpi—dan mimpi selalu kebalikan dari kenyataan.

Dalam ingatannya, Ji Linqiu tidak pernah seperti ini.

Meski tubuhnya terlihat ramping, ia selalu tegap dan penuh keteguhan hati. Ji Linqiu adalah seseorang dengan tekad yang besar dan daya juang yang luar biasa.

Tanpa keberanian semacam itu, tidak mungkin ia bisa menghabiskan bertahun-tahun mengajar sukarela sendirian di tempat terpencil, di ujung dunia yang gersang, demi mencintai dan membantu orang lain.

Namun, bahkan orang sekuat itu ternyata bisa rapuh—dan yang lebih mengejutkan, rapuh hanya untuk satu orang, yakni Jiang Wang.

Ji Linqiu sendiri tidak tahu mengapa ia menangis. Sudah bertahun-tahun ia tidak meneteskan air mata, sehingga perasaan ini begitu asing baginya.

Namun ia tidak bisa berhenti. Yang bisa ia lakukan hanyalah mencengkeram erat pakaian Jiang Wang, menyembunyikan wajahnya lebih dalam, dan membiarkan dirinya dipeluk begitu erat hingga hampir kehabisan napas.

Pada akhirnya, keduanya tertidur tanpa sadar, tanpa mengalami mimpi apa pun.

Jiang Wang tidur dalam keadaan setengah sadar. Di tengah kantuk, sebuah pikiran melintas di benaknya.

Tidur sambil memeluk Linqiu itu sangat nyaman.

Hangat dan lembut. Alangkah indahnya jika setiap hari seperti ini.


Keesokan paginya, Ji Linqiu bangun tepat pukul 6:30. Saat membuka mata, ia mendapati dirinya dipeluk erat oleh Jiang Wang seperti sebuah bantal guling. Lengan dan kaki Jiang Wang melilitnya dengan erat, membuatnya sulit bergerak.

Ia mengamati wajah tidur Jiang Wang sejenak, lalu, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia kembali tidur untuk beberapa jam lagi.

Hingga sekitar pukul sebelas atau dua belas siang, keduanya akhirnya bangun. Dari luar, terdengar suara ketukan pintu dari Peng Xingwang.

“Kakak Wang!! Apakah kamu tahu di mana Kakak Linqiu?!”

“Ponselnya masih di kamarnya, tapi dia tidak ada di kelas bimbingan belajar!”

Jiang Wang langsung terdiam. Sebelum Peng Xingwang bisa membuka pintu, ia buru-buru menutupi Ji Linqiu dengan selimut.

“Kakak!!” Peng Xingwang mendobrak masuk dengan ekspresi tidak puas. “Sudah jam dua belas, cepat bangun!!”

“Peng Xingwang, anak kecil harus belajar sopan santun,” ujar Jiang Wang dengan nada serius. “Lain kali, ketuk pintu tiga kali, dan tunggu izinku sebelum masuk.”

Ji Linqiu, yang tidak siap dengan tindakan Jiang Wang, terperangkap di bawah selimut. Ruangnya sempit, pengap, dan ia tidak bisa bernapas dengan leluasa. Dengan kesal, ia menggigit pergelangan tangan Jiang Wang.

Peng Xingwang, yang merasa ada sesuatu yang aneh, tetap berdiri di sana sambil mencoba mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.

Jiang Wang berusaha menenangkan diri dan berkata, “Aku akan ganti baju terlebih dulu. Kamu keluar sebentar, aku temani kamu mencari Guru Ji nanti.”

“Cepatlah,” jawab Peng Xingwang dengan pipi menggembung. “Jangan tidur lagi!”

“Oke, baiklah.”

Begitu pintu tertutup, Jiang Wang melepaskan selimut yang menutupi Ji Linqiu. Wajah Ji Linqiu tampak lega karena akhirnya bisa bernapas dengan normal.

“Aku benar-benar tidak rela melepas pelukanku denganmu,” Jiang Wang menghela napas. “Kamu sangat nyaman untuk dipeluk. Lembut dan hangat. Aku tidak pernah menyangka sebelumnya.”

Ji Linqiu merapikan kancing bajunya dengan tenang, tapi sebelum ia bisa berkata apa-apa, Peng Xingwang tiba-tiba membuka pintu lagi.

“Pemeriksaan mendadak!!”

Hening.

Peng Xingwang menatap dengan ekspresi terkejut, langsung terpaku di tempat. “Kak… Kakak Linqiu, kenapa kamu…?!”

Jiang Wang memegang kepalanya, merasa kewalahan.

Setelah hening sejenak, Ji Linqiu menjelaskan dengan tenang, “Semalam aku mimpi buruk. Aku tidak bisa tidur sendirian, jadi aku meminta kakakmu untuk menemaniku.”

Ekspresi Peng Xingwang seolah berkata, Kamu yakin dengan alasan itu?

Jiang Wang menambahkan dengan jujur, “Dia tidak bohong. Memang begitu.”

Malam itu, mereka bahkan tidak melakukan apa-apa selain tidur bersama dengan selimut yang menutupi mereka.

Ji Linqiu merasa alasan ini justru semakin aneh, lalu bertanya, “Kalau begitu, menurutmu, kenapa aku di sini?”

Peng Xingwang merenung beberapa detik sebelum menjawab, “Kalau memang begitu, kenapa tadi pagi kakakku mencoba menyembunyikanmu?”

“Sejak awal aku curiga ada yang aneh! Tapi tadi aku tidak berani bertanya!”

Dengan nada datar, Ji Linqiu menjawab, “Karena ini sangat memalukan.”

Untuk membuktikan dirinya tidak bersalah, Ji Linqiu langsung keluar dari selimut Jiang Wang, berdiri di sebelah Peng Xingwang dengan pakaian yang rapi.

“Sebenarnya, kakakmu menonton film horor semalam. Dia ketakutan sendiri sampai jam empat pagi dan memaksaku untuk menemaninya.”

Ji Linqiu menatap Jiang Wang dengan serius. “Jiang Wang, kamu seorang pria. Kalau begitu, jangan takut.”

Setelah mengatakan itu, Ji Linqiu menarik Peng Xingwang keluar dari kamar.

Peng Xingwang menoleh ke belakang dan memberikan Jiang Wang tatapan penuh ejekan. “Pengecut!”

Jiang Wang: …


Beberapa hari berikutnya, ibu Ji Linqiu, Chen Danhong, mulai beradaptasi dengan lingkungan baru mereka. Ji Linqiu, yang memerhatikan ini, mulai merencanakan untuk menyewa salah satu toko Jiang Wang agar ibunya bisa membuka usaha menjahit, demi membuatnya lebih sibuk dan bergaul.

Saat ia sedang merenung, ponselnya bergetar dua kali.

[Kak Wang]: Turunlah, ayo kita pergi kencan.

[Linqiu]: Ke mana?

[Kak Wang]: Lapangan tembak di pinggiran kota. Kita coba senjata sungguhan, hahaha,


KONTRIBUTOR

Rusma

Meowzai

San
Keiyuki17

tunamayoo

Leave a Reply